Jumat, 27 Agustus 2010

‘’Concursus Idealis dan Concursus Realis dalam Perbuatan Pidana’’

PENDAHULUAN

Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut samenloop yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang menerjemahkannya dengan gabungan. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan.
Ajaran mengenai samenloop ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri.
Perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri, khususnya yang terdapat didalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP, terjemahan perkataan feit di pasal ini dengan perkataan perbuatan menunjukkan bahwa team penerjemah Departemen Kehakiman R.I. (sekarang Departemen Hukum dan HAM) Secara resmi telah menafsirkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu sebagai suatu perbuatan yang nyata, yakni suatu penafsiran yang oleh Hoge Raad (HR) sendiri telah ditinggalkan sejak lebih dari setengah abad yang lalu.
Kiranya tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman itu juga tidak akan menerjemahkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu dengan perkataan perbuatan, seandainya tim tersebut mengetahui bahwa sudah sejak setengah abad yang lalu terdapat keberatan-keberatan terhadap penggunaan perkataan perbuatan itu sendiri.
Apa yang disebut samenloop van strafbare feiten atau gabungan tindak-tindak pidana itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Bab ke-VI dari Buku ke-1 KUHP atau tegasnya di dalam pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama.
Dalam suatu samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana, atau ia telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana.
Prof. Simons berpendapat, bahwa apabila tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana dan dengan melakukan tindakan tersebut, tindakannya itu ternyata telah memenuhi rumusan-rumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan melakukan satu tindak pidana itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana, maka di situ terdapat apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan ketentuan-ketentuan pidana. Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya studi kasus berupa suatu gabungan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang secara sadar maupun tidak sadar serta pembedaan yang sangat mendasar untuk mengetahui sebatas mana gabungan tindak pidana dapat ditafsirkan menjadi sebuah eendaadse samenloop ataukah meerdaadse samenloop.


PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN CONCURSUS

Dalam Kamus Hukum, perbarengan juga disebut samenloop (Belanda) atau disebut juga dengan concursus. Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan samenloop dengan gabungan tindak pidana. Maka dalam pengambilan keputusan kita menjumpai keadaan bahwa ada beberapa orang dan satu peristiwa pidana, dan dalam keadaan kebersamaan ada beberapa peristiwa dan seorang. Yang terakhir ini juga terdapat pada revcidive (pengulangan kejahatan). Perbedaan antara keadaan kebersamaan dan recidive adalah, bahwa dalam hal recidive terjadi peristiwa pidana itu dihentikan oleh putusan hakim, tetapi biarpun begitu si terhukum masih melakukan lagi suatu peristiwa pidana.
Dalam keadaan kebersamaan si pembuat melakukan beberapa peristiwa tanpa adanya kesempatan bagi hakim untuk memberi peringatan. Adanya perbarengan apabila ada beberapa perbuatan pidana yang dilakukan, dan diantara berberapa perbuatan pidana itu si pembuat tidak diadili bertalian salah satu perbuatan pidana yang dilakukan. Adanya recidive, apabila ada beberapa perbuatan pidana.
Setelah si pembuat diadili, ia melakukan pembuat pidana lagi. Masih ada perbedaan lain antara pengambilan bagian dan keadaan kebersamaan. Pengambilan bagian seperti percobaan memperluas berlakunya peristiwa pidana. Tanpa aturan mengenai keadaan kebersamaan mungkin bahwa hakim menjatuhkan pidana yang seberat-beratnya untuk tiap peristiwa pidana yang dilakukan. Ini dianggap hal melampaui batas oleh pembentuk undang-undang, yang menyebabkan ia mengadakan pembatasan pada pemberian pidana dalam keadaan kebersamaan. Maka ketentuan mengenai keadaan kebersamaan ialah ketentuan mengenai penerapan pidana.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah:
• Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
• Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan);
• Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
• Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.

B. SISTEM PEMIDANAAN

Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:

1. Sistem Absorpsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.

2. Sistem Kumulasi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.

3. Sistem Absorpsi Diperberat
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).

4. Sistem Kumulasi Terbatas
Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).

C. CONCURSUS IDEALIS dan CONCURSUS REALIS

1. Concursus Idealis (Gabungan Dalam Satu Perbuatan)

Concursus idealis (eendaadsche samenloop) yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan yakni suatu perbuatan meliputi lebih dari satu pasal ketentuan hukum pidana
Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Concursus idealis diatur dalam Pasal 63 KUHP. Dalam KUHP bab II Pasal 63 tentang perbarengan peraturan disebutkan:
a. Jika suatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b. Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Menurut pasal 63 ayat (1) digunakan system absorbs, yaitu hanya dijatuhi satu pidana pokok yang terberat. Namun demikian dalam praktik pemidanaan ada kemungkinan :
• Apabila hakim menghadapi pilihan antara dua pidana pokok yang sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS dijatuhkan pidana pokok dengan pidana tambahan yang paling berat
• Apabila menghadapi pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana yang terberat didasarkan urut-urutan jenis pidana yang terberat didasarkan urut-urutan jenis pidana seperti dalam pasal 10.

Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun.
Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341.
Berdasarkan rumusan pasal 63 KUHP tersebut, para pakar berusaha membuat pengertian tentang perbuatan ( feit ). Prof. Mr. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang dimuat dalam pasal 63 KUHP sebagai berikut : “Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukan, atau karena tempatnya, atau karena orang yang melakukannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang lain.”
Sedangkan menurut Hoge Raad concursus idealis yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana, dalam hal yang demikian yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman hukumannya terberat.
Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa keadilan. Begitu juga dengan VOS membuat pula satu perumusan jelas tentang ‘feit’ sebagai satu perbuatan fisik. Perbuatan materiil atau perbuatan fisik adalah perbuatan yang dilihat terlepas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu, terlepas dari unsur-unsur subyektif (kesalahan) dan terlepas pula dari semua lain yang menyertai.
Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosa perempuan, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 karena melanggar kesusilaan di muka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara.
Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.
Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo peristiwa hukum adalah suatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur.
Dari pasal diatas menurut Jonkers bahwa peristiwa dalam pasal ini bukanlah berarti peristiwa pidana karena suatu peristiwa pidana mempunyai aturanya sendiri. Peristiwa mula-mula diartikan secara materialistis, sebagian orang berpendapat bahwa yang diartikan peristiwa adalah perbuatan jasmani, kelakuan materil. Keberatan daripada pendapat yang materialistis adalah, bahwa berlakunya undang-undang pidana dibatasi dengan cara yang luar biasa.
Dalam hal ada peristiwa-peristiwa yang sangat berbeda, yang tidak ada hubungannya satu sama lain, dalam sistem ini tidak mungkin menjatuhkan hukuman pidana yang khusus bagi tiap-tiap peristiwa yang sama sekali berbeda, tetapi peristiwa yang lebih berat menutupi peristiwa yang lebih ringan karena hanya ada suatu perbuatan jasmani. Sistem ini tidak memuaskan rasa keadilan.
Memang hukum pidana tidak hanya mengenai perbuatan-perbuatan jasmani yang murni. “Peristiwa” dalam pasal 63 KUHP harus dipandang sebagai “peristiwa” dalam arti menurut hukum pidana.
Dengan diterapkannya sistem ini yaki diberlakunya satu ketentuan hukum, yaitu, yang menentukan hukuman pokok terberat. Jadi hanya satu kali diberi pidana, apabila atas satu peristiwa yang lebih berat menutupi yang lebih ringan. Buah pikiran yang merupakan dasar dari pada ketentuan ini ialah bahwa, pada satu peristiwa hanya boleh diberi pidana satu kali.

2. Concursus Realis (Gabungan dalam beberapa perbuatan)

Concursus realis (meerdaadse samenloop) terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Concursus realis diatur dalam Pasal 65-71 KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan.
Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 dan 70 bis. Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak.
Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran. Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran.
Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan.
Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
a. Sistem pemberian pidana bagi concursus realis
Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu:
1) Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam.

Misal A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun.

2) Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak.

Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan.
Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.

3) Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
4) Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.
5) Untuk concursus realis , baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

Misalkan A tanggal 1 Januari melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5 Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351, pidana penjara 2 tahun 8 bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480, pidana penjara 4 tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378, pidana penjara 4 tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan.
Andaikata hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata A pada tanggal 14 Januari melakukan penggelapan (Pasal 372, pidana penjara 4 tahun), maka putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahun (putusan I), yaitu 8 bulan penjara. Dengan demikian Pasal 71 KUHP itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Putusan II = (putusan sekaligus)-(putusan I).

b. Pertanggungjawaban Terhadap Pelaku yang melakukan tindak pidana Concursus Realis

Concursus realis yang merupakan perbarengan tindakan jamak atau perbarengan dua atau lebih tindakan.apabila tindakan-tindakan itu berdiri sendiri Jan termasuk dua atau lebih ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga bagi laku yang melakukan perbuatan tersebut dia harus dikenakan pidana yang berbeda dengan pelaku yang melakukan tindak pidana secara umum.
Dilihat dari bunyi rumusan Pasal 65 KUHP maka dapat disimpulkan bahwa bagi pelaku hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Pasal 65 KUHP:
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Contoh :

1. A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam dengan pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun. Dalam hal ini lamanya pidana yang dapat dijatuhkan maksimum adalah 9 tahun + (1/3 X 9) tahun = 12 tahun penjara.

2. A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara I tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan jumlah ancaman pidana yaitu 9 tahun + 1 tahun = 10 tahun penjara. Jadi bukan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara, karena jika seperti ini akan lebih dari jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap masing-masing kejahatan tersebut.25

3. A melakukan lima perbuatan yang merupakan lima kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, misalnya kelima-limanya diancam dengan pidana penjara yaitu sebagai berikut:
a. Perbuatan pertama diancam dengan pidana penjara 2 tahun.
b. Perbuatan kedua diancam dengan pidana penjara 3 tahun.
c. Perbuatan ketiga diancam dengan pidana penjara 4 tahun.
d. Perbuatan keempat diancam dengan pidana penjara. 5 tahun.
e. Perbuatan kelima diancam dengan pidana penjara 6 tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat (1) KUHP, maka kepada A hanya boleh dijatuhkan satu pidana saja yaitu jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, dalam kasus ini jumlah maksimum pidana penjara yang diancamkan adalah 2 + 3 + 4 + 5 + 6 = 20 tahun penjara.
Akan tetapi jumlah maksimum ini tidak boleh lebih dari pidana dari maksimum pidana yang terberat (dalam kasus ini adalah pidana penjara 6 tahun) ditambah dengan sepertiganya.
Jadi harus dihitung sebagai berikut: 6 tahun + (1/3 x 6) tahun = 8 tahun penjara. Tidak boleh dijatuhkan jumlah maksimum pidana penjara yang diancamkan (dalam kasus ini adalah 2 + 3 + 4 + 5 + 6 = 20 tahun penjara).
Dengan demikian system pemberian pidana (sistem pemidanaan) yang dipergunakan adalah "stelsel absorbsi yang diperberat" (verscrepte absorptie stelsel). Namun ada juga sarjana yang menyatakan bahwa Cara tersebut di atas bukanlah "absorbsi yang diperberat", tetapi adalah :"stelsel kumulasi terbatas" (gematigde cumulatie stelsel) karena beberapa pidana itu dijatuhkan Haman dibatasi yaitu jumlah seluruh pidana yang diancamkan tidak boleh melebihi dari lamanya pidana terberat ditambah dengan sepertiganya.

D. GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN HUKUM ISLAM

Setiap individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi.
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan. Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan.
Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum. Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama.
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia.
Di satu sisi manusia ingin hidup secara tentram, damai, tertib dan berkeadilan, artinya tidak diganggu oleh hal-hal yang mengandung unsur kejahatan. Upaya untuk meminimalkan tingkat kejahatan pun terus dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun represif, yang bersifat preventif misalnya dengan dikeluarkannya peraturan dan undang-undang. Sedangkan yang bersifat represif yaitu adanya hukuman-hukuman terhadap pihak-pihak yang telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran.
Adanya suatu hukuman yang diancamkan kepada seorang pembuat agar orang banyak tidak memperbuat sesuatu jarimah, sebab larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat sendiri. Namun hukuman tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat.
Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian ia dihukum, maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan. Di samping itu suatu hukuman yang diancamkan terhadap seorang pelanggar, dalam Islam dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar jarimah, sangsi itu sendiri pada intinya adalah bukan supaya si pembuat jarimah itu dapat derita karena pembalasan, akan tetapi bersifat preventif terhadap perbuatan jarimah dan pengajaran serta pendidikan.
Pada masa sekarang ini yang menjadi dasar penjatuhan hukuman ialah rasa keadilan dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam KUHP berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain sudah ada ketentuannya sendiri.
Akan tetapi berat ringannya hukuman tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan adanya batas maksimal dan minimal hukuman yang ada dalam KUHP. Kebanyakan para hakim menjatuhkan hukuman mengambil di antara kedua batas tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam kasus tertentu.
Bahkan dalam prakteknya seorang hakim atau penuntut umum dalam melakukan tuntutan dianggap terlalu ringan terutama terhadap pelaku-pelaku tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam hal ini tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa baik penuntut umum ataupun hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan hukuman yang setimpal, sehingga mempunyai dampak di samping mempunyai aspirasi dan keadilan masyarakat juga merupakan daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general deterrent effect).
Dalam kehidupan manusia adakalanya sering kita temukan seseorang melakukan perbuatan jarimah tidak hanya murni satu jenis, terkadang terdapat niat untuk melakukan satu macam jarimah, namun yang terjadi justru beberapa jarimah pun dilakukannya. Sebagai contoh misalnya, pada suatu malam A yang tidak mempunyai SIM bahwa ia boleh mengemudi mobil, menjalankan kendaraannya dalam kota dengan kecepatan yang lebih dari 40 km/jam tanpa memasang lampu.
Dalam hal ini A telah mengadakan pelanggaran 1) menjalankan kendaraan tanpa mempunyai SIM, 2) melampaui batas kecepatan mobil yang diperbolehkan dalam kota, dan 3) tidak memasang lampu pada waktu malam hari. Dari kasus ini timbul pertanyaan bagaimanakah hukuman yang harus dijatuhkan? Apakah A itu akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus (karena mengadakan tiga pelanggaran) ataukah ia dijatuhi hanya satu hukuman saja tetapi yang diterberat?
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi suatu gabungan melakukan tindak pidana, dimana satu orang telah melakukan beberapa peristiwa pidana. Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum positif sering diistilahkan dengan delik cumulatie atau concursus yang diatur dalam bab VI buku 1 KUHP pasal 63 – 71.
Adanya gabungan peristiwa pidana ini, menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Jadi gabungan pemidanaan ada karena adanya gabungan melakukan tindak pidana di mana masing-masing belum mendapatkan putusan akhir. Dalam sistematika KUHP peraturan tentang perbarengan perbuatan pidana merupakan ketentuan mengenai ukuran dalam menentukan pidana (straftoemeting) yang mempunyai kecenderungan pada pemberatan pidana.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:
“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu-satu dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai, jika pidana berlain maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.
Dari pasal tersebut orang yang melakukan dua atau beberapa tindak pidana sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana dimaksud oleh pasal di atas.
Sementara itu dalam hukum Islam gabungan melakukan tindak pidana ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sebagaimana diketahui bahwa dalam Syariat Islam terdapat bermacam-macam dan berbeda-beda dalam masalah pidananya, sehingga boleh dikatakan bahwa untuk satu jenis pidana tertentu ada hukumnya tersendiri, seperti mencuri dengan hukuman potong tangan, pembunuhan dengan qishos, zina dengan rajam dan lain-lain.
Namun perlu ditinjau kembali bahwa tidak semua peristiwa pidana itu ada ketentuannya dalam nash Al Qur’an maupun Sunnah Rosul. Maka dalam hal ini para hakim diberikan wewenang untuk memberikan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan secara berbarengan atau bersamaan.
Akibat dari adanya perbedaan jenis hukuman itu, menyebabkan orang merasa tidak perlu untuk memikirkan bagaimana cara menerapkan hukuman, jika seseorang sekaligus melakukan lebih dari satu macam peristiwa pidana oleh karena tidak menghadapi kesukaran apa-apa.
Dalam hukum Islam dicontohkan dengan kasus pencurian yang diikuti dengan pemerkosaan dan pembunuhan. Dalam hal ini apakah ia akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus yaitu hukuman potong tangan, rajam dan kemudian hukuman qishos, ataukah ia hanya akan menjalani salah satu hukuman yang terberat saja yakni hukuman qishos. Para ulamapun berbeda pendapat mengenai bagaimana pemberian hukuman bagi gabungan perbuatan ini.
Bagaimana Islam memandang masalah ini tentu berbeda dengan pandangan KUHP dalam menyelesaikan gabungan perbuatan ini, dimana hal ini berkaitan erat dengan masalah pemberian pidana yang nentinya akan dijatuhkan. Adanya perbedaan antara hukum Islam dan KUHP dalam menyelesaikan masalah ini menjadikan dasar bagi penyusun untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yaitu dengan cara membandingkan antara keduanya sehingga nampak adanya segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Pada dasarnya syariat Islam telah memberikan ketentuan bahwa suatu sangsi bagi suatu perbuatan jarimah adalah dengan satu sangsi. Hal ini telah ditetapkan dalam berbagai ayat al-Qur’an di antaranya yaitu:

- ومن جأ بالسيئة فلا يجزى الامثلها وهم لا يظلمون.
- وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص.
- وجزؤ اسيئة سيئة مثلها.
- والذين كسيوا السيات جزاء سيئة بمثلها وترهقهم ذلة.
Dengan ketentuan tersebut di atas maka jelas bahwa dalam hukum Islam telah memberikan aturan perundang-undangan yang mendasar terhadap pelaku kejahatan. Dalam syari'at Islam sendiri persoalan mengenai gabungan pemidanaan ini masih menjadi perdebatan dikalangan para imam madzhab. Dimana ketiga imam madzhab yakni Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengakui adanya gabungan pemidanaan ini.
Sedangkan Imam Syafi’i tidak memberlakukan adanya gabungan pemidanaan ini namun sebagian ulama Syafi’iyah nampaknya memakai teori gabungan melakukan tindak pidana ini. Sedangkan dalam hukum positif ketentuan mengenai gabungan melakukan tindak pidana ini sudah diatur dalam buku 1 KUHP pasal 63 – 71. Sehingga menjadi asumsi dasar penyelesaian skripsi ini adalah mengadakan klarifikasi antara ketetapan hukum yang sudah ada dalam hukum Islam dan KUHP.

KESIMPULAN

Perbarengan perbuatan pidana (concursus atau samenloop) adalah perbuatan seseorang yang melakukan beberapa perbuatan pidana sekaligus, atau melakukan satu perbuatan yang diatur dalam beberapa ketentuan pidana. Hal ini terdapat pada KUHP dalam buku kedua pasal 63-71.
Concursus idealis (eendaadsche samenloop) adalah seseorang yang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.
Sedangkan concursus realis (meerdaadsche samenloop) adalah seseorang yang melakukan beberapa perbuatan sekaligus. Apabila hukuman pokoknya sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan. Sedangkan apabila hukuman pokoknya tidak sejenis, maka setiap hukuman dari masing-masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.

DAFTAR RUJUKAN

Puspa, Yan Pramadya. 1977. Kamus Hukum. Semarang; Aneka Ilmu.
Eutrecht. 1987. Hukum Pidana. Surabaya; Pusaka Tinta Mas.
Soesilo, 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor; Politeia.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung; PT. Refika Aditama.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung; PT.Refika Aditama.
Marpaung, Leden. 2006. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta; Sinar Grafika.
Moeljatno, 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta; PT.Bumi Aksara.

Selasa, 10 Agustus 2010

Dzikir Sebagai Sarana Membersihkan Jiwa

“Tidaklah kalian ketahui bahwa hati hamba-hamba Allah yang beriman itu dibahagiakan oleh Allah dengan banyak berzikir kepada-Nya” (QS Al-Hadid (57) : 16)

Zikir dalam pengertian yang luas adalah kesadaran tentang kehadiran Allah dimana dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk; kebersamaan dalam arti pengetahuan-Nya terhadap apapun dialam raya ini serta bantuan dan pembelaan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang taat. Zikir dalam peringkat inilah yang menjadi pendorong utama melaksanakan tuntunan-Nya dan menjauhi larangan-Nya, bahkan hidup bersama-Nya.
Dengan berzikir berarti kita berusaha menggapai rahmat Allah , dan doa para malaikat. Dengan banyak berzikir kepada-Nya, maka sesuai janji Allah, Dia akan menyelamatkan mereka dari semua bentuk kedzaliman, kegelapan dan kemaksiatan. Dalam hadist Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudri dijelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda:
“Tidaklah duduk suatu kaum yang berzikir menyebut nama Allah dan dinaungi para malaikat, dipenuhi mereka oleh rahmat Allah dan diberi ketenangan, karena Allah menyebut-nyebut nama mereka di hadapan malaikat yang ada di sisinya.” (HR Muslim, At-Turmudzi dan Ibnu Majah).

Banyak cara berzikir yang telah dituntunkan oleh Rasulullah kepada hamba-hamba-Nya. Sebagai contoh berzikir secara be-rulang-ulang dengan mengagungkan asma Allah yang lazim pula disebut wirid. Ada juga zikir dengan cara mengeraskan suara seperti adzan, takbiran dan talbiyah. Bisa juga berzikir dalam hati atau sirri. Dapat juga melalui tafakkur diam dengan berusaha memahami penciptaan alam ini dan ada pula berzikir itu setiap saat, baik sewaktu berjalan, duduk, berdiri, sambil bekerja, bahkan ketika berbaring sekalipun.
Karena berzikir adalah penterapian pikiran dan mental agar selalu ingat setiap saat kepada Allah , maka kapan saja dan di mana saja berzikir itu tidak ada halangan atau larangan. Karena dengan demikian akan membangkitkan kesadaran berketuhanan yang tinggi untuk membersihkan jiwa dari kekotoran pikiran. Kita tidak boleh ragu-ragu zikir kita tidak didengar Allah . Kita harus yakinkan diri melalui qolbu kita bahwa Allah itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita. Memang untuk berzikir yang baik itu bukan gampang, tapi tidak pula terlalu sulit. Yang penting harus dilaksanakan.
Menurut ahli zikir, apabila zikir seseorang telah mantap akan terasa perubahan mental dari waktu ke waktu. Setiap hari akan ada perubahan jiwa yang luar biasa terutama kelembutan hati yang terpancar dari tutur sapanya. Ini pula awal pendidikan akhlak mulia yang terbentuk karena pengaruh zikir.
Surat al-Ra'd / 13:28, menyebutkan bahwa dengan mengikat (dzkir) kepada Allah maka hati menjadi tenteram. Dzikir sebagai metode mencapai ketenagan hati dilakukan dengan tata-cara tertentu. Dzikir dipahami dan di ajarkan dengan mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah secara keras (dzikr jahr), dan dengan kalimat-kalimat thayyibah yang memfokus, dari kalimat syahadat La ilaha illa Allah ke lafazh Allah dan sampai ke lafazh hu.
Disamping itu, dzikir berkautan erat dengan ketentraman jiwa dan dapat dianalisis secara ilmiah. Dzikir secara lughawi artinya ingat atau menyebut. Jika diartikan menyebut maka peranan lisan lebih dominan, tetapi jika diartikan ingat, maka kegiatan berpikir dan merasa (kegiatan psikologis) yang lebih dominan. Dari segi ini maka ada dua alur pikir yang dapat diikuti:

1. Manusia memiliki potensi intelektual.
Potensi itu cenderung aktif bekerja mencari jawab atas semua hal yang belum diketahuinya. Salah satu hal yang merangsang berpikir adalah adanya hukum kausalitas di muka bumi ini. Jika seseorang melahirkan suatu penemuan baru, bahwa A disebabkan B, maka berikutnya manusia tertantang untuk mencari apa yang menyebabkan B. Begitulah seterusnya sehingga setiap kebenaran yang di temukan oleh potensi intelektual manusia akan diikuti oleh penyelidikan berikutnya sampai menemukan kebenaran baru yang mengoreksi kebenaran yang lama, dan selanjutnya kebenaran yang lebih baru akan ditemukan mengoreksi kebenaran yang lebih lama.
Sebagai makhluk berfikir manusia tidak pernah merasa puas terhadap 'kebenaran ilmiah' sampai ia menemukan kebenaran perenial melalui jalan supra rasionalnya. Jika orang telah sampai kepada kebenaran ilahiah atau terpandunya pikir dan dzikir, maka ia tidak lagi tergoda untuk mencari kebenaran yang lain, dan ketika jiwa itu menjadi tenang, tidak gelisah dan tidak ada konflik batin.
Selama manusia masih memikirkan ciptaan Allah SWT dengan segala hukum-hukumnya, maka hati tidak mungkin tenteram dalam arti tenteram yang sebenarnya, tetapi jika ia telah sampai kepada memikirkan Sang Pencipta dengan segala keagungannya, maka manusia tidak sempat lagi memikirkan yang lain, dan ketika itulah puncak ketenangan dan puncak kebahagiaan tercapai, dan ketika itulah tingkatan jiwa orang tersebut telah mencapai al- nafs al-muthma'innah.

2. Manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas
Oleh karena itu selama manusia masih memburu yang terbatas, maka tidak mungkin ia memperoleh ketentraman, karena yang terbatas (duniawi) tidak dapat memuaskan yang tidak terbatas (nafsu dan keinginan). Akan tetapi, jika yang dikejar manusia itu Allah SWT yang tidak terbatas kesempurnaan-Nya, maka dahaganya dapat terpuaskan. Jadi jika orang telah dapat selalu ingat (dzikir) kepada Allah maka jiwanya akan tenteram, karena 'dunia' manusia yang terbatas telah terpuaskan oleh rahmat Allah yang tidak terbatas.
Hanya manusia pada tingkat inilah yang layak menerima panggilan-Nya untuk kembali kepada-Nya dan untuk mencapai tingkat tersebut menurut al-Rozi hanya dimungkinkan bagi orang yang kuat potensinya dalam berpikir ketuhanan atau kuat dalam 'uzlah dan kontemplasi (tafakkur)-nya.
Jadi, kata tathma’innu/ menjadi tenteram adalah penjelasan tenang kata beriman. Iman tentu saja bukan sekedar pengetahuan tentang objek iman, karena pengetahuan tentang sesuatu belum dapat mengantar kepada keyakinan dan ketenteraman hati. Dan al-nafs al-muthma'innah adalah nafs yang takut kepada Allah, yakin akan berjumpa dengan-Nya, ridlo terhadap qodlo-Nya, puas terhadap pemberian-Nya, perasaannya tenteram, tidak takut dan sedih karena percaya kepada-Nya, dan emosinya stabil serta kokoh.

KESIMPULAN

Faedah-faedah Dzikir yaitu:
• Meundukkan setan dan menghidupkan hati
• Dzikir menyebabkan Allah ingat kepada ahlinya dan tidak melupakannya.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu) , dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (2:152)
• Dzikir membershkan hati dari Dosa
• Dzikir merupakan sarana untuk menurunkan rahmat dari Allah.
• Dzikir Menjadikan Hati Yang Keras Berubah Lunak

Yang menjadi suatu hal penting dalam menerapkan dzikir sebagai sarana membersihkan jiwa yakni bagaimana kita menata adab-adab kita. Adab-adab dalam berdzikir antara lain:
1. Semata-mata niat mengabdikan diri kepada Alloh serta menyadari dan merasa bahwa segala sesuatu gerak-geriknya adalah Alloh yang menciptakn dan menitahkan. ( yakni mengetrapkan “Laahaulaa walaa quwwata illaa Billah”)
2. Hatinya hudlur berkonsentrasi kepada Allah. Sabda Nabi : “ Penerapan ihsan yaitu engkau beribadah kepada Alloh seakn-akn melihat-Nya, maka apabila belum bisa, sadarilah sesungguhnya Alloh melihat kamu ( H.R Bukhori dan Muslim dari Abi Hurairoh )
3. Istihdlor, yakni merasa berada dihadapan Rosuululloh .
4. Tadzallul dan Tadhollum, yakni merasa rendah diri akibat perbuatan dosanya dan merasa berlumuran dosa dan banyak berbuat dholim.
5. Iftiqor, merasa butuh sekali, butuh terhada maghfiroh, perlindungan, dan taufiq-hidayah Alloh, butuh syafa'at Rosululloh.