Senin, 24 Oktober 2011

Bayi Tabung

Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur di luar tubuh (in vitro fertiliziaton), atau proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas/tabung gelas (nah nyambung juga kan dengan kata tabung). Dan vertilization adalah bahasa Inggrisnya pembuahan.
Dalam proses bayi tabung atau IVF, sel telur yang sudah matang diambil dari indung telur lalu dibuahi dengan sperma di dalam sebuah medium cairan. Atau menggunakan suatu alat khusus semacam alat untuk laparoskopi dilakukan pengambilan sel telur dari wanita yang baru saja mengalami ovulasi.
Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa, dengan harapan dapat berkembang menjadi bayi.
Status bayi tabung ada tiga macam, yaitu:
1. Inseminasi buatan dengan sperma suami
2. Inseminasi buatan dengan sperma donor
3. Inseminasi buatan dengan sperma titipan

Dasar hukum pelaksanaan bayi tabung di Indonesia adalah undang-undang Kesehatan no. 23 tahun 1992, yaitu sbb:
a. Pasal 16 ayat (1) kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami isteri mendapat keturunan.
b. Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah dengan ketentuan:
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim isteri darimana ovum berasal.
2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
3) Pada sarana kesehatan tertentu.
c. Ketentuan menenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Penjelasan dari pasal 16 tersebut jika secara medis dapat dibuktikan bahwa pasangan suami isteri yang sah benar-benar tidak dapat memperoleh keturunan secara alami, pasangan suami isteri tersebut dapat melakukan kehamilan diluar cara alami sebagai upaya terakhir melalui ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
Pelaksanaan upaya kehamilan diluar secara alami harus dilakukan sesuai dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang telah memenuhi persyaratan untuk penyelenggaraan upaya kehamilan diluar cara alami dan ditunjuk oleh pemerintah.

Rabu, 05 Oktober 2011

INTI AJARAN MAZHAB SEJARAH

A. Latar Belakang

Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Mazhab ini dipelopori oleh Friedrich Karl von Savigny melalui suatu manuskrip yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Sehingga dia dipandang sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah.
Adapun pokok-pokok pemikiran Friedrich Karl von Savignyc yaitu, sbb:
a. Masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian.
b. Karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
c. Hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif).
d. Jiwa bangsa (Volkgeist) itulah yang menjadi sumber hukum.
e. Das Rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke.
f. Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Kelahiran mazhab Sejarah ini dilatari oleh dua faktor, yaitu buku yang ditulis oleh Montesquieu (1689-1755) yang berjudul “L’ esprit des Lois” (semangat hukum) dan semangat nasionalisme pada abad ke-19. Sebagai pelopor, Savigny mengkritisi usulan Thibaut yang menganjurkan kodifikasi hukum perdata Jerman dengan mengacu pada Code Napoleon Prancis.
Buku karangan Montesquieu yang terbit pada tahun 1748 tersebut menjelaskan bahwa ada relasi yang kuat antara jiwa suatu bangsa dengan hukum yang dianutnya . Hukum yang diperpegangi dan dianut suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang direpresentasikan oleh nilai-nilai dan tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan demikian bersifat dinamis, sehingga berimplikasi pada dinamisnya hukum. Dengan lain perkataan, dinamisasi nilai-nilai dan tatanan sosial menyebabkan dinamisasi pada hukum yang diperpegangi masyarakat.
Inti ajaran Montesquieu dalam bukunya “L’ esprit des lois” sebagai berikut:
1. Ajaran Montesquieu mempunyai dua definisi sentral, yaitu:
 Mencari ke bawah kulit peraturan formal hukum untuk mendapatkan inspirasi serta hubungannya dengan bentuk pemerintahan dan dengan suatu substruktur sosial yang dinamis dari kelompok politik yang mendasarinya.
 Penyelenggaraan hukum sebagai hal yang selalu ada secara wajar (the necessary relation deriving from the nature of things) yang akan menerangkan terjadinya berbagai jenis politik-yuridis karena sifat ketergantungannya pada fenomena-fenomena sosial lain seperti adat-istiadat, penduduk, agama, dan sebagainya.
2. Aksentuasi kajian pada persoalan bagaimana hubungan hukum dengan negara yaitu sebagai pelaksana hukum.
3. Hukum sangat bergantung pada morfologi atau bentuk fisik lingkungan masyarakat, sehingga kajiannya menggunakan metode fisika sosial.
4 Hukum diselenggarakan oleh pembuat undang-undang dan membedakan hukum dengan adat istiadat yaitu hukum itu diselenggarakan sementara adat istiadat diilhamkan.
5. Hukum adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat.
6. Membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecenderungan metafisika yang dogmatis dan membawanya pada telaah yang lebih dekat pada perbandingan hukum.
7. Hukum merupakan hasil dari sejumlah anasir-anasir yang inheren dalam masyarakat sehingga hukum dapat dipahami dengan menelaah locus hukum tersebut berkembang.
8. Hukum bersifat relatif, karenanya hukum harus dipelajari dalam konteks latar belakang historis masyarakatnya.
Selain buku Montesquieu, kelahiran mazhab Sejarah juga dilatari oleh paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Semboyan “Deutsch uber alles” mengekspresikan tingginya nasionalisme masyarakat Jerman yang sekaligus menjadi antitesa dari konsep Thibaut yang menyerukan kodifikasi hukum Jerman dalam perundang-undangan dengan patron kodifikasi hukum Prancis (Code Napoleon) .
Seruan Thibaut tersebut menurut Savigny sangat tidak sejalan dengan jiwa rakyat (volksgeist) Jerman karena sejatinya, jiwa rakyat Jerman sangat berbeda dengan jiwa rakyat Prancis. Inilah yang kemudian mendorong Savigny untuk mengembangkan ajarannya tentang hukum, yaitu “Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke” (hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Karena itu, menurut Savigny, masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda, sehingga hukum masing-masing bangsa juga berbeda.
Implikasinya, tidak ada hukum yang berlaku secara universal dan substansi hukum sangat ditentukan oleh pergaulan hidup dan pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat .

B. Pandangan Mazhab Sejarah terhadap Hukum

Mazhab sejarah memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami dengan menelaah kerangka atau struktur kesejarahan (historisitas) dimana hukum tersebut timbul. Menuturt Friedrich Karl von Savigny hukum merupakan representasi kesadaran hukum masyarakat (voklgeist) . Hukum berasal dari adat-istiadat, sejumlah kepercayaan atau keyakinan bukan berasal dari legislator, melainkan berasal dari jiwa rakyat yang luhur dan dinamis . Pandangannya tersebut dilatar belakangi oleh sikap kontra produktifnya terhadap kodifikasi hukum perdata Jerman yang menjadikan hukum Prancis (Code Napoleon) sebagai patron.
Savigny berangkat dari satu keyakinan bahwa masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terlihat dari perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa, baik dari segi kooptasi nilai-nilai maupun perwujudannya semisal bentuk pergaulan, etika pergaulan, dan sebagainya. Ekspresi perbedaan tersebut juga tampak pada eksistensi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Masing-masing bangsa memiliki tatanan hukumnmya sendiri, dan berbeda secara substantif dengan hukum yang dimiliki bangsa lain .

C. Inti Ajaran Mazhab Sejarah

1. Hukum Tidak Dibuat Melainkan Ditemukan
Hukum bersifat organis, hukum pada dasarnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, dan menyesuaikan dengan perubahan sosial, karena hukum bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh pembuat hukum. Proses demikian merupakan proses yang alami atau tidak disadari karena menjadi bagian internal dalam lingkup pergaulan masyarakat.
2. Undang-undang Tidak Berlaku Secara Universal
Undang-undang merupakan representasi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Undang-undang hanya berlaku di suatu bangsa atau kelompok bangsa tertentu (suku) dan pada kurun waktu tertentu. Savigny berpendapat, setiap bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi yang khas .
Curzon mengemukakan: “Law is a special product of people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it dies away when a people loses its individuality. Law have no universal validity; the apply solely to the nations in which they are created”
“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat (punahnya masyarakat). Hukum tidak berlaku secara universal; penerapannya terbatas pada bangsa dimana hukum itu dibuat”.
Sebagai contoh negara kita Indonesia, undang-undang yang dibuat oleh legislatif dengan eksekutif tidak dapat diberlakukan atau diterapkan secara universal ke bangsa lain, seperti Malaysia, Singapura, dsb. Undang-undang tersebut hanya berlaku di Indonesia saja. Selain itu, undang-undang tersebut memiliki batas berlaku (temporal) karena substansinya tidak sesuai lagi dengan keinginan atau kesadaran hukum masyarakat. Oleh karenanya, amandemen perundang-undangan menjadi keniscayaan agar perundang-undangan tidak berseberangan dengan jiwa rakyat (volksgeist).
3. Hukum merupakan perwujudan dari jiwa rakyat atau kesadaran hukum masyarakat (volksgeist)
Terdapat hubungan yang dinamis antara hukum dengan kehidupan dan karakter masyarakat sebagai tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan masyarakat tersebut. Sebagai contoh hukum adat; hukum yang dihasilkan dari masyarakat bukan dari legislator, dan ditegakkan oleh masyarakat itu sendiri. Hukum berakar dalam sejarah masyarakat, dibangun atas dasar kesadaran penuh, keyakinan, dan adat istiadat yang dianut masyarakat. ”
Menurut Georg Friedrich Puchta (1798-1846) (murid Savigny) bahwa semua hukum merupakan perwujudan dari kesadaran umum masyarakat (volksgeist). “Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.”
Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan negara.
Dalam pemikirannya G.F. Puchta membedakan pengertian bangsa dalam dua jenis :
 Bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam”.
 Bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara). Sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Savigny menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas, dia menolak paradigma bahwa hukum itu dibuat, dan secara diametral dia menyatakan bahwa hukum itu ditemukan di masyarakat.
Hukum ada di masyarakat, dan karenanya pembuatan undang-undang tidak begitu penting. Inilah yang oleh sebagian ahli dipandang sebagai pesimisme hukum, karena menolak upaya luhur manusia untuk menciptakan hukum yang akan mengarahkan manusia ke masa depan yang lebih baik, masa depan yang berlandaskan pada keadilan .
Jiwa suatu bangsa sangat menentukan bagaimana mereka melihat, menginternalisasikan, dan mengaplikasikan aturan-aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari.
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah suatu bangsa
Hukum yang berlaku di suatu negara harus dilihat dalam konteks sejarahnya. Karenanya, hukum yang tidak bersumber dari sejarah atau jiwa bangsa dianggap bukan hukum karena hanya akan menciptakan ketidakpastian dan bukan tidak mungkin justru menggiring ketidakadilan dalam masyarakat.
Memahami hukum sebagai suatu kajian akademik-dialektis harus berlandaskan pada kajian historis-sosiologis, karena sejatinya sejarah masyarakat merupakan akar dari hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut.
5. Aturan-aturan hukum (undang-undang) yang bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat (volksgeist) harus dibatalkan karena sifat aturan hukum tidak lebih penting dari kesadaran hukum tersebut.
Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah atas penolakan sekelompok masyarakat terhadap aturan perundang-undangan tertentu karena didasari oleh adanya pertentangan antara aturan-aturan hukum tersebut dengan kesadaran hukum masyarakat.
Pertentangan tersebut, baik secara linier maupun diametral akan menimbulkan friksi secara tajam di masyarakat. Selain penolakan, tidak menutup kemungkinan adanya upaya untuk menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena sekali lagi, jiwa rakyat adalah supremasi tertinggi, dan karenanya aturan hukum harus tunduk dengan jiwa rakyat tersebut.
Menilik lebih jauh tentang ajaran mazhab Sejarah, volksgeist (jiwa rakyat) merupakan episentrum paradigma yang dibangun dalam suatu konsep abstrak. Volksgeist menjadi teramat penting, terutama karena konsep ini menurut mazhab Sejarah adalah akar dari hukum itu sendiri. Hukum yang baik tidak akan terbangun jika volksgeist tidak dijadikan sebagai patron dalam perumusan dan pelaksanaannya.
Sebagaiman pendapat Charles Stamford, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa hukum yang dipenuhi dengan ketidakpastian (ketidakteraturan) tidak akan mungkin dapat mewujudkan ketertiban yang sempurna, baik dalam hukum itu sendiri maupun di masyarakat.
Pendapat C.Sampford ini dikenal dengan “the disorder of law” atau ketidakteraturan hukum. Sampford melihat bahwa hukum tidak cukup (not suficient) untuk dianggap sebagai sebuah sistem, karena antara satu aspek dengan aspek lainnya tidak saling berpadu secara linier dan reliabel. Misalnya, koruptor yang seharusnya dihukum berat (sesuai amanat undang-undang) dalam kenyataannya ternyata banyak yang dihukum “ringan” bahkan tidak jarang divonis bebas, meskipun secara formil-materil terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Belum lagi perilaku yuris yang sangat jauh dari idealitas aturan-aturan hukum, yang tidak menjadikan kode etik profesi sebagai patronase dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya; yaitu penegakan supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima.
Perundangan-undangan sebagai the ultimate law instrument (instrumen utama hukum) banyak yang bertentangan dengan kehendak dan keinginan masyarakat (kesadaran hukum masyarakat). Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang tidak jarang menabrak aspirasi masyarakat akan sebuah tatanan yang berkeadilan.
Memang, harus diakui undang-undang sejatinya bukanlah produk hukum, melainkan produk politik, akan tetapi kenyataan tersebut tidak boleh secara a priori dijadikan sebagai justiikasi atas kondisi demikian. Sekalian aturan selaiknya mendasarkan diri pada apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga pada penerapannya tidak menemui karang keras.
Mazhab Sejarah melihat hukum sebagai entitas yang organis-dinamis. Hukum bagi mazhab ini, dipandang sebagai sesuatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat.
Hukum bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya undang-undang tidak begitu penting. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya dan karenanya, benar argumentasi mazhab Sejarah, yaitu hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan dan bersumber dari jiwa rakyat.