Kamis, 09 Februari 2012

VISUM ET REPERTUM

A. Pengertian Visum Et Repertum Visum et repertum disingkat ‘’VeR’’ adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia. Dalam kaitannya dengan pencarian kebenaran yang berhubungan dengan peradilan, kita telah mencatat beberapa hal yang dilakukan manusia pada zamannya untuk mewujudkan kesemuanya itu, diantaranya: 1. Pada abad pertengahan, dikenal adanya istilah ‘’Judicia Dei’’ (Keputusan Tuhan) yang kemudian diganti dengan ‘’Reinigingseed’‘ (sumpah bersih diri), dalam kaitannya mendasari pencarian sebuah kebenaran dalam proses penyelesaian perkara. 2. Kemudian pada abad ke-8 untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan apakah seseorang tersebut telah melakukan tindak pidana atau tidak, didasarkan pada pengakuan tersangka. 3. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia maka pada akhir abad ke-18 pemahaman dalam hukum berubah sehingga istilah ‘’pijbank’’ (pengakuan) tersangka dalam hubungannya dengan pencarian kebenaran tentang telah dilakukannya tindak pidana mulai ditinggalkan. 4. Mengenai pencarian kebenaran sebelum berlakunya Hukum Acara Pidana Nasinal (baca KUHAP), juga masih diwarnai hal-hal sebagaimana tersebut di atas, khususnya yang berkenaan dengan pengejaran seseorang untuk mengakui terhadap apa yang telah dilakukannya. Visum et repertum kemudian digunakan bukti yang sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban penganiayaan, pemerkosaan, maupun korban yang berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah memeriksa (korban). Khusus untuk perempuan visum et repertum termasuk juga pernyataan oleh dokter apakah seseorang masih perawan atau tidak. B. Prosedur Permohonan Visum Et Repertum Secara garis besar permohonan visum et repertum, harus memperhatikan hal sebagai berikut: 1. Permohonan harus dilakukan secara tertulis, oleh pihak-pihak yang berkenaan dengan itu dan tidak diperkenankan dilakukan melalui lisan, maupun lewat via telepon. 2. Permohonan visum et repertum harus diserahkan oleh penyidik bersamaan dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti kepada ahli dokter kehakiman. C. Bagian-bagian Tetap VeR Ada lima bagian tetap dalam laporan Visum et repertum, yaitu: 1. Pro Justisia Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum. 2. Pendahuluan Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa. 3. Pemberitaan Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua keterangan pemeriksaan. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran. 4. Kesimpulan Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap hasil pemeriksaan, berisikan:  Jenis luka  Penyebab luka  Sebab kematian  Mayat  Luka  TKP  Penggalian jenazah  Barang bukti  Psikiatrik D. Hakikat Visum Hakikat visum: mencari kejadian yang sebenarnya terjadi atau dialami korban. Kita tidak bisa memakai data polisi untuk menganalisa, oleh karena visum: apa yang dilihat dan apa yang didapat, bukan yang didengar. Kesimpulan bahwa meninggal, akibat kecelakaan lalulintas bukan kesimpulan dokter tetapi kesimpulan polisi. Dokter hanya memberikan data tentang luka-luka dan sebab kematian. Dokter tidak bisa berkesimpulan bahwa korban sedang mabuk oleh karena kadar alkohol yang disebabkan mabuk berbeda-beda untuk tiap orang dan dokter tidak bisa pastikan apakah kadar alkohol tertentu orang/korban menjadikannya mabuk. Dokter hanya bisa berikan data bahwa terdapat alkohol dan kadar sekian dalam darah korban. 1. Pada kasus kecelakaan lalu lintas Pada kasus kecelakaan lalu lintas yang diberikan dokter, apakah: - kecelakaan (data) - sengaja ditabrak (data) - Mabuk (data) - Bunuh diri (data) - Mati baru ditabrak (medis) diketahui dari sebab kematian Ingat dalam visum jangan hanya menyimpulkan sebab kematian tetapi juga patogenesis kematiannya. 2. Pada luka tembak Pada luka tembak harus disimpulkan: a. Sebab kematian b. Jarak dan arah tembakan c. Pemberitaan: Barang bukti Ringkasan dan kesimpulan → bukan barang bukti 3. Kasus Luka Tusuk Data: a) Luka tusuk dari belakang menembus dan merobek aorta yang menyebabkan perdarahan ± 750 cc dalam rongga dada. b) Luka tusuk dari arah belakang tembus hepar menyebabkan perdarahan 300 cc. Data medis lain yang membantu polisi: apakah hamil atau tidak pada korban ♀ → membantu polisi menganalisa dan menyimpulkan sebab akibat/hubungan kehamilan dan penikaman. Perlu dokter mendeskripsikan luka bukan deskripsi jenis senjata sebab nanti polisi yang mendeskripsikan senjata. 4. Tugas-tugas dalam membuat visum :  Memindahkan luka – luka ke kertas sebagai pengganti barang bukti.  Menalar sebagai saksi ahli untuk sampai pada kesimpulan. 5. Kesimpulan yang dibuat/dimuat dalam visum  sebab kematian  saat kematian  patogenesa sebab kematian, dengan tujuan untuk mengetahui apakah korban mati secara wajar atau tidak. E. Visum Et Repertum sebagai Alat Bukti Visum Et Repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang apa yang dilihatnya, apa yang ditemukannya, apa yang didengarnya, sehubungan dengan dengan seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya dan seseorang yang mati. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitannya dengan kemungkinan telah terjadi tindak pidana. Visum Et Repertum merupakan surat yang dibuat atas sumpah jabatan, yaitu jabatan seorang dokter, sehingga surat tersebut mempunyai keotentikan. Maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Untuk adanya visum et repertum harus ada terlebih dahulu keterangan saksi 2. Alat bukti surat sesungguhnya merupakan penjabaran dari visum et repertum. 3. Dari alat bukti tersebut, dapat diperoleh alat bukti baru yaitu petunjuk. Dengan demikian, antara keterangan saksi, visum et repertum, alat bukti surat dan petunjuk merupakan empat serangkai yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Menurut Bismar Siregar, SH, sebagaiman yang dikutip Ibnu Artadi, SH., menjelaskan bahwa visum et repertum dari dokter dalam perkara-perkara pidana yang berhubungan dengan luka atau kematian, hendaknya jangan sampai menghambat proses persidangan. Visum et repertum sebagai alat bukti tidak mengikat hakim, jadi kalau visum belum ada jangan sampai menghambat sidang. Visum hanya alat bukti tambahan . Sementara itu R. Sudarsono berpendapat, beliau menuturkan bahwa bagaimanapun visum diperlukan, hakim tidak bisa mengambil kesimpulan yang lebih dari seorang dokter dan biasanya memang visum tersebut seluruhnya diambil alih oleh hakim . F. Otopsi Sebagai Unsur Visum et Repertum Dalam hal segala sesuatu yang berkenaan dengan kematian seseorang yang diduga sebagai korban tindak pidana atau setidaknya patut diduga sebagai akibat tindak pidana, yang selanjutnya akan diproses melalui pengadilan, maka diperlukan hal-hal sebagai berikut: (a) Bahwa mayat yang dimaksud adalah merupakan barang bukti, sehingga Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik berhak atas baran bukti tersebut, yang selanjutnya akan menentukan jenis pemeriksaannya. Dalam hal ini pasal 133 KUHAP menegaskan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, karena keracuan ataupun mati yan diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakimanaau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat, dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlalukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilaksanakan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian badan mayat. (b) Bahwa dalam hal penyidik berpendapat mayat tersebut untuk kepentingan pemeriksaan perlu dilakukan pembedahan maka penyidik wajib memberitahukan kepada keluarga korban, dengan disertai penjelasan tentang maksud dan kegunaan dilakukannya pembedahan tersebut. Dalam pasal 134 KUHAP di tegaskan: (1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib member tahu terlebih dahulu kepada keluarga korban. (2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan mayat. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidi segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) UU ini. (4) Dalam hal terdapat seseorang yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan (bedah mayat) sebagaimana tersebut dalam point 2 tersebut di atas, diancam dengan pidana. Berdasarkan tinjauan yuridis konstitusinal, visum et repertum dapat dimasukkan dalam kategori alat bukti yang lain, yaitu keterangan saksi dan petunjuk. Dengan pertimbangan bahwa visum et repertum merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang, sementara peradilan di Indonesia menagnut system pembuktian negatif, maka ada baiknya apabila hakim merasa terikat terhadap keberadaan alat bukti tersebut. Mengenai kerahasian visum et repertum kiranya perlu dilihat urgen dan dimensinya. Artinya, apabila untuk kepentingan peradilan, maka akan sangat tidak mungkin apabila kebenaran materiil hokum dapat diwujudkan di atas kerahasiaan. Dengan pertimbangan bahwa hanya dokterlah yang mengetahui jenis dan penyebab adanya luka, maka bukan hanya korban meninggal saja yang memerlukan pemeriksaan dokter. Dalam hal untuk menjamin keobjektivitasan dalam proses peradilan, maka terhadap korban kejahatan yang meninggal harus diotopsi (pembedahan mayat).