Pembuktian adalah sangat penting karena sebagai pendukung didalam mencari kebenaran yang sejati, walaupun masih ada cacat didalamnya. Hukum pembuktian adalah salah satu dari hukum acara pidana. Ini sangat berkaitan erat dengan bagaimana seorang hakim memutuskan suatu perkara pidana dengan dasar bukti, dan sebagainya.
Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Adapun kriteria yang bisa disebut dengan pembuktian adalah: (a) menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca indra, (b) memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut, dan (c) menggunakan pikiran logis.
1. Sumber-sumber Hukum Pembuktian
Ada beberapa sumber pembuktian, diantaranya adalah: (a) Undang-undang, (b) doktrin atau ajaran, dan (c) Yurisprudensi. Perlu diketahui disini bahwa ketika di dalam praktik pembuktian menemukan kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.
2. Sistem atau Teori Pembuktian
Ada 4 (empat) teori atau sistem pembuktian didalam hukum pidana, yaitu: (a) Conviction in time (pembuktian berdasar keyakinan hakim), (b) Conviction in raison (pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim atas Alasan Logis), (c) sistem Pembuktian Positif (pembuktian menurut UU yang positif), dan (d) sistem pembuktian negatif (pembuktian menurut UU yang negatif).
a) Conviction in Time
Teori conviction in time adalah suatu ajaran pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata. Teori ini merupakan sistem pembuktian yang menentukan salah tidaknya sorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian "keyakinan" hakim. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
Hakim bisa saja menarik kesimpulan setelah memeriksa dan meneliti alat-alat bukti yang ada, atau bisa juga mengabaikannya dan langsung menarik sebuah kesimpulan berdasarkan keyakinannya. Tentu saja sistem memiliki kelemahan yaitu pembuktian yang cukup dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan. Sehingga dalam sistem ini keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian.
Hakim didalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti samata. Dari mana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada didalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada di persidangan.
Akibatnya didalam memutuskan perkara menjadi subyektif sekali, hakim tidak perlu menyebut alas an-alasan yang menjadi dasar putusannya. Seseorang bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya. Demikian juga sebaliknya hakim juga bisa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang aa menunujukkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Kebenaran sejati ada ditangan hakim yakni sesuai dengan keyakinan hakim itu sendiri. Sistem pembuktian ini digunakan dalam sistem peradilan juri (jury rechtspraak) misalnya di Ingris dan Amerika Serikat.
b) Conviction in Raison
Dalam hal sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim telah dibatasi. Keyakian hakim dalam sistem pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction intime karena keyakinan hakim harus disertai alasan logis yang dapat diterima akal sehat. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).
Teori ini juga masih menyandarkan kepada keyakinan hakim.hakim tetap tidak terikat pada alat-alat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Meskipun alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim bisa mempergunakan alat-alat bukti diluar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian didalam mengambil keputusan salah atau tidaknya seorang terdakwa haruslah didasarkan kepada dasar-dasar atau alas an-alasan yang jelas.
Jadi didalam teori ini hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alas an (reasoning). Oleh karena ituputusan tersebut juga berdasarkan alas an yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Keyakinan hakim haruslah didasari dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-semata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. System pembuktian ini sering disebut dengan system pembiktian bebas.
c) Sistem Pembuktian Positif
Sistem pembuktian positif adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindakan pidana hanya berdasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan.
Pada pokoknya seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang telah ditentukan oleh undang-undang. Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidanakan. Seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang. Namun demikian, ada kebaikan dalam system pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif. Yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Sistem pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian Conviction in Time. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah menurut undang-undang.
d) Sistem Pembuktian Negatif
Sistem pembuktian negatif sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone. Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.[4] Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).
Hakim didalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorag terdakwa terikat oleh alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan atau nurani hakim sendiri.Di dalam sistem negatif ini ada 2 (dua) hal yang yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa, yakni:
1) Wettelijk: adanya alat bukti yang sah ditetapkan oleh undang-undang.
2) Negatif: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kasalahan terdakwa. Akan tetapi, meskipun dalam suatu perkara telah terdapat cukup bukti sesui UU, hakim belum boleh menjatuhkan pidana sebelum ia memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.
3. Prinsip Minimum Pembuktian
Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu: (a) dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup), dan (b) kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu alat bukti sah saja sudah cupuk mendukung keyakinan hakim.
4. Prinsip Pembuktian
Prinsip pembuktian dalam hokum pidana adalah sebagai berikut:
a. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (notoire feiten)
b. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)
c. Pengakuan (keterangan) terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah.
Senin, 06 Mei 2013
Minggu, 05 Mei 2013
Dasar yang Menunjukkan Hukum Itu Mengikat Berdasarkan Filsafat Hukum
Filsafat adalah merupakan suatu perenungan atau pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu hal yang telah kita lihat dengan indera penglihatan, kita rasakan dengan indera perasa, kita cium dengan indera penciuman ataupun kita dengar dengan indera pendengaran samapai pada dasar atau hakikat daripada sesuatu hal tersebut.
Filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat tingkah laku atau nilai – nilai etika, yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
Filsafat hukum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat (Darji Darmodiharjo, Shidarta, 2004 : 11). Menurut R.Satjipto Raharjo Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu.
Untuk lebih lanjutnya, dasar yang menunjukkan hukum itu mengikat dapat dilihat dari 4 teori sebagai berikut, yaitu:
1. Teori Teokrasi atau Teori Kedaulatan Tuhan (Goddelijke souvereiniteit)
Penganjur teori adalah Agustinus, Thomas Aquinas, dll. Teori ini mengajarkan bahwa pemerintah/negara memperoleh kekuasaan yang tertinggi itu dari Tuhan, dunia beserta segala isinya adalah hasil ciptaan Tuhan. Kedaulatan yang berasal Tuhan itu dipegang oleh raja yang dianggap Tuhan yang menjelma di dunia ini. Oleh karena kekuasaan raja tidak boleh dibantah oleh rakyatnya, karena membantah raja berarti menentang perintah Tuhan.
Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan (antara abad ke-V sampai abad ke-XV). Di dunia Barat ada orang yang mengganggap hukum itu kemauan Tuhan. Tinjauan tentang hukum itu dicampur baurkannya dengan kepercayaan dan agama. Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum atas kehendak Tuhan dinamanakan teori teokrasi (theocratische theorien); (theos: Tuhan; kratein: memerintah). Teori ini mengajarkan bahwa pemerintah/negara memperoleh kekuasaan yang tertinggi dari Tuhan.
a. Teori Teokrasi Langsung
Teori teokrasi langsung menyatakan bahwa manusia, dalam hal ini raja merupakan orang yang ditunjuk oleh tuhan di dunia. Perkembangan teori ini ketika berkembangnya mazhab hukum alam. Raja sebagai orang yang ditunjuk secara langsung oleh tuhan menjalankan perintah langsung oleh tuhan. Tuhan menurunkan seperangkat aturan kepada manusia untuk menjadi panduan dalam hidupnya. Sehingga peran raja hanyalah sebagai phak yang ditugaskan untuk menjalankan aturan hukum dari tuhan.
Ketika manusia memutuskan untuk mempercayai tentang Tuhan ia akan mempercayai ketika dirinya melanggar aturan yang telah diturunkan akan mendatangkan nestapa (neraka). Namun jika manusia mematuhi aturan tuhan akan mendapatkan ganjaran berupa kenikmatan (surga). Hukum ditaati oleh manusia karena manusia menginginkan dirinya mendapatkan kebahagiaan dan menghindarkan pada penderitaan. Raja sebagai penjelmaan tuhan di dunia sehingga apa yang ditetapkan harus ditaati.
b. Teori Teokrasi Tidak Langsung
Seorang raja yang berkuasa di dunia mendalilkan bahwa kekuasaannya sebagai raja karena adanya mandat yang diberikan oleh tuhan. Teori ini berkembang pada zaman Renaissance. Raja sebagai bij de gratie goda (raja atas karunia tuhan). Ini merupakan perkembangan dari teori teokrasi sebelumnya. Para raja menganggap dirinya sebagai aparatur tuhan. Raja diberikan kewenangan untuk membuat aturan hukum yang membatasi hak manusia dan membebankan sebuah kewajiban padanya. Ketika seorang raja membuat aturan hukum harus mendasarkan pada kitab suci yang diturunkan oleh tuhan.
Jika dilihat maka kita akan menemukan kenyataan bahwa adanya hukum juga akan menimbulkan konsekwensi. Ketika seseorang tidak mematuhi aturan yang telah mendapatkan legitimasi ketuhanan dirinya akan dibayang-bayangi oleh hukuman drai tuhan. Sehingga hukum yang ditetapkan oleh raja tersebut dipatuhi sebaga sebuah keniscayaan.
2. Teori Perjanjian Masyarakat atau Teori Kedaulatan
Rakyat (Volkssouvereiniteit)
Dasar kekuatan mengikat hukum menurut teori ini adalah adanya kesepakatan (agreement) dalam masyarakat. Pada awalnya manusia hidup dalam ketidak teraturan dan konflik berkepanjangan. Menurut teori ini, negara memperoleh kekuasaan dari rakyatnya bukan dari Tuhan atau Raja. Teori ini tidak sependapat dengan teori kedaulatan Tuhan. Kenyataan ini menimbulkan keragu-raguan yang mendorong ke arah timbulnya alam pikiran baru yang memberi tempat pada pikiran manusia (Renaissance).
Thomah Hobbes sebagai salah satu tokoh ilmu Negara menyatakan pendapatnya yang tentang konflik pada awal periode kebudayaan sebagai berikut : “Pada Mulanya manusia itu hidup dalam suasana selalu berperang. Agar tercipta suasana damai dan tentram, lalu diadakan perjanjian di antara mereka (pactum unionis). Setelah itu, disusul perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu (pactum subjectionis) yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin itu adalah mutlak atau bersifat absolute”.
Pandangan yang dilontarkan oleh Hobbes menyiratkan adanya penundukan secara penuh terhadap orang yang ditunjuk sebagai pemimpin. Masyarakat menyepakati adanya persatuan yang diwujudkan dalam sebuah komunitas yang dinamakan Negara. Setelah terbentuk suatu komunitas diperlukan seperangkat aturan agar menciptakan tata yang adil dan harmonis. Kesepakatan selanjutnya ketika menentukan adanya orang-orang yang dianggap paling kompeten untuk menciptakan hukum. Orang yang ditunjuk ini memiliki kompetensi serta kecerdasan dalam menjalankan tugasnya. Ketika kelompok tersebut telah mempercayai seseorang untuk menjadi pemimpin maka segala keputusan hukum yang ia keluarkan harus dipatuhi. Karena kepatuhan tersebut melandaskan pada kesepakatan yang sudah ada dalam komunitas tersebut.
Jhon Locke berpendapat bahwa pada waktu perjanjian disertakan pula persyaratan bahwa kekuasaan yang diberikan harus dibatasi. Ketika masyarakat memberikan kekuasaan kepada seseorang yang ditunjuk bersama harus ada pembatasan kekuasaan. Sehingga teori ini menghasilkan kekuasaan raja yang dibatasi konstitusi, jadi tidak bersifat absolut.
Menurut J.J Rosseau dalam bukunya “Le Contract Social ou Principes de Droit Politique” menyatakan kekuasaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat tetap berada pada individu- individu dan tidak diserahkan pada seseorang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu”. Kebabasan yang dimiliki oleh warga tidak diserahkan secara utuh. Maka masyarakat akan mematuhi hukum apabila hukum tersebut memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
3. Teori Kedaulatan Negara (Staatssouvereiniteit)
Menurut teori ini, negara dianggap sebagai satu kesatuan idea yang paling sempurna. Negara adalah satu hal yang tertinggi, yang merupakan sumber dari segala kekuasaan, jadi negara adalah sumber kedaulatan dalam negara.
Negara terbentuk karena adanya hukum alam yang membentuknya. Sebuah Negara mempunyai kewenangan untuk membuat seperangkat aturan hukum. Tujuan Negara menciptakan aturan hukum adalah untuk mengkondisikan masyarakat menuju sebuah tatanan yang adil dan equivalen.
Negara mempunyai wewenang yang besar untuk mengatur rakyat, salah satunya adalah pembentukan hukum. Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum karena Negara menghendakinya, sehingga Negara yang berdaulat berhak untuk menghukum seseorang yang mencoba mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Hukum itu muncul karena adanya Negara dan tidak ada satu hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh Negara.
Meskipun demikian alasan yang paling mendasar dari suatu Negara dapat memaksakan hukum dikarenakan Negara memiliki tanggung jawab yang sangat besar yaitu mewujudkan segala tujuan yang menjadi cita- cita dan keinginan seluruh warganya. Tugas Negara yang paling utama adalah memberikan jaminan kesejahteraan bagi warganegara. Apabila ada anggtota masyarakat yang melanggar hukum maka Negara akan memebrikan sanksi yang tegas. Dengan adanya pelanggaran hukum berarti Negara belum mampu memberikan proteksi yang optimum kepada masyarakat.
Dalam praktek, kekuasaan negara dipegang oleh para penguasa saja, sehingga menimbulkan negara kekuasaan. Misalnya: Jerman di bawah Adolf Hitler. Teori ini lahir pada bagian kedua abad ke-XIX, dan ada dua ahli hukum bangsa Jerman yang sangat terkenal sebagai penganut teori ini yaitu: Paul Laband (1838-1918), George Jellinek (1851-1911), Hans Kelsen (1881).
4. Teori Kedaulatan Hukum (Rechtssouvereiniteit)
Berdasarkan teori ini hukum mengikat bukan karena kehendak negara, melainkan karena perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Kesadaran hukumlah yang membuat aturan hukum dipatuhi dan ditaati. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu
Kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu, tetapi teori tersebut mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat diartikannya secara jelas menganai apa itu kesadaran hukum dan apa yang diartikan sebagai perasaan hukum itu. Hukum yang dijelmakan dalam sebuah produk legislasi dianggap sebagai implementasi kesadaran hukum. Hukum ditaati karena manusia memiliki akal untuk memikirkan mengenai hukum dan konsekwensinya.
Menurut Huge Krabbe, bahwa hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian besar dari anggota masyarakat oleh karenanya negara seharusnya negara hukum (rechtsstaat). Tiap tindakan negara harus dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum. Konsepsi negara hukum itu menjadi cita-cita kenegaraan pada zaman modern. Jadi perbedaan antara kedaulatan negara dan kedaulatan hukum, yaitu:
Penganut teori kedaulatan negara (staatsspuvereiniteit) mengatakan bahwa negara menciptakan hukum;
Penganut teori kedaulatan hukum (rechtsspuvereiniteit) justru sebaliknya, hukumlah yang menciptakan negara.
Negara yang menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum dinamakan negara hukum atau nomikrasi (nomoi: hukum; kratein: menguasai, memerintah).
Rabu, 02 Januari 2013
Handelings Bekwaamheid & Recht Bevoegd
A.
Pendahuluan
Masyarakat yang di dalamnya terdiri dari individu-individu manusia amat
berperan dalam lapangan hukum. Hal ini sehubungan dengan kedudukan manusia (person)
sebagai subyek hukum.
Manusia sebagai subyek hukum dikatakan juga sebagai pembawa hak atau
pendukung hak. Sebagai subyek hukum manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk
melakukan tindakan-tindakan dalam lapangan hukum, seperti mengadakan perjanjian
jual beli,mengadakan pernikahan, mengadakan pembagian warisan, dan sebagainya.
B.
Pembahasan
1.
Handelings
Bekwaamheid (Kecakapan Bertindak Dalam Hukum)
Subyek
hukum adalah segala sesuatu yang memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas
hokum. Menurut Algra subyek hukum adalah setiap orang mempunyai hak dan
kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedengkan
pengertian wewenag hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek
dari hak-hak.
Dalam
menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum memiliki wewenang. Wewenang subyek
hukum di bagi menjadi dua yaitu : (1) wewenang untuk mempunyai hak
(rechtsbevoegdheid), dan (2) wewenang untuk melakukan ( menjalankan) perbuatan
hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Subyek Hukum di bagi
menjadi 2, yaitu:
1.
Manusia
Pengertian
secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek
hukum yaitu: Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kedua, kewenangan
hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek
hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada
dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUH Perdata),
namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum. Maksudnya dalam pasal 2 KUH. Perdata manusia menjadi pendukung
hak dan kewajiban dalam hukum dari sejak lahir sampai meninggal. Tetapi
Undang-undang menentukan tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht)
adalah cakap (bekwaan) untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya.
- Cakap Hukum
Cakap hukum adalah kemampuan
subyek hukum untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah secara hukum. Syarat–syarat
cakap hukum:
1) Seseorang
yang sudah dewasa (berumur 21 tahun)
2) Seseorang
yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah
3) Seseorang
yang sedang tidak menjalani hokum
4) Berjiwa
sehat & berakal sehat
Contoh :
Fulan merupakan cakap hukum karena sudah
berusia 19 tahun, sedangkan Zainab bisa dianggap cakap hukum jika sudah menikah walaupun umurnya 16 tahun.
Husein merupakan cakap hukum karena tidak sedang menjalani hukuman penjara.
- Tidak Cakap Hukum
Tidak cakap hukum adalah tidak memiliki
kemampuan subyek hukum untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah secara
hukum. Contoh : Hasan tidak cakap hukum karena usianya dibawah 18 tahun. Orang
gila dikatakan tidak cakap hukum karena tidak berakal sehat. Syarat-syarat tidak
Cakap Hukum
a. Seseorang
yang belum dewasa
b. Sakit
ingatan
c. Kurang
cerdas
d. Orang
yang ditaruh dibawah pengampuan
e. Seorang
wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata)
Anak yang belum dewasa dapat melakukan tindakan hukum dengan bantuan orang
tua/walinya, orang yang berada dibawah pengampuan diwakili oleh pengampunya
sedangkan istri dengan bantuan suaminya.
Pasal 330 KUH Perdata tentang
pengertian belum dewasa pada pasal 1330 KUH Perdata, yang berisi sebagai
berikut: "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin". Apabila perkawinan itu
dibubarkan sebelum umur mereka genap 21tahun, maka mereka tidak kembali lagi
dalam kedudukan belum dewasa. Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk
perkawinan anak-anak.
Usia
dewasa bagi sebagian remaja merupakan suatu prestasi tersendiri, yang patut
dirayakan. Secara awam, jika seseorang sudah merayakan ulang tahunnya yang
ke-17 th, dan sudah berhak memegang KTP atau memiliki SIM sendiri, dianggap
sudah dewasa. Artinya dia sudah berubah dari anak-anak menjadi dewasa dan sudah
bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Di mata
hukum, batas usia dewasa seseorang menjadi penting, karena hal tersebut
berkaitan dengan boleh/tidaknya orang tersebut melakukan perbuatan hukum, ataupun
diperlakukan sebagai subjek hukum. Artinya, sejak seseorang mengalami usia
dewasanya, dia berhak untuk membuat perjanjian dengan orang lain, melakukan
perbuatan hukum tertentu, misalnya menjual/membeli harta tetap atas namanya
sendiri, semuanya tanpa bantuan dari orang tuanya selaku wali ayah atau wali
ibunya.
Jadi,
apakah seseorang yang berusia 17th sudah dianggap dewasa dimata hukum? Rupanya,
batas usia dewasa di mata masyarakat berbeda dengan batas usia dewasa di mata
hukum. Menurut Undang Perkawinan No. 1/1974 dan KUHPerdata, seseorang dianggap
dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah (pernah) menikah. Bertahun2 batas
usia dewasa tersebut di ikuti oleh seluruh ahli hukum di Indonesia. Sehingga,
jika ada tanah & bangunan yang terdaftar atas nama seorang anak yang belum
berusia 21 tahun, maka untuk melakukan tindakan penjualan atas tanah dan
bangunan tersebut dibutuhkan izin/penetapan dari Pengadilan negeri setempat.
Demikian pula untuk melakukan tindakan pendirian suatu PT/CV/FIRMA/YAYASAN, jika
salah seorang pendirinya adalah seseorang yang belum berusia 21th, harus
diwakili oleh salah satu orang tuanya.
Namun,
sejak tanggal 6 Oktober 2004 dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, terdapat pergeseran dalam menentukan usia dewasa. Dalam pasal
39 ayat 1 disebutkan bahwa: ” Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(a) paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, dan (b)
cakap melakukan perbuatan hukum.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sejak diterbitkannya UU no. 30/2004 tersebut,
maka setiap orang yang sudah berusia 18th atau sudah menikah, dianggap sudah
dewasa, dan berhak untuk bertindak selaku subjek hukum.
2.
Badan hukum
Menurut sifatnya
badan hukum ini dibagi menjadi dua yaitu ;
a.
Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang di dirikan
oleh pemerintah. Contohnya : Provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan bank-bank
negara
b.
Badan hukum privat, adalah badan hukum yang didirikan
oleh perivat (bukan pemerintah). Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas,
Firma, Koprasi, Yayasan.
2. Recht
Bevoegd (Kewenangan Bertindak Dalam Hukum)
Menurut Philipus M.
Hadjon (1997:1) wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht).
Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan .
F.P.C.L. Tonner dalam
Ridwan, HR (2006:100) berpendapat
overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om
positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers
onderling en tussen overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah dalam
kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan
dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga
negara)
Ferrazi dalam Ganjong
(2007:93) mendefinisikan
kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang
meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan
pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu
- Unsur-unsur Kewenangan
1) Pengaruh:
ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek
hukum.
2) Dasar
hukum: dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar
hukumnya, dan
3) Konformitas
hukum: mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu standard umum ( semua
jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu)”
- Macam-macam Kewenangan
Setiap tindakan pemerintahan dan/atau pejabat
umum harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui
3 sumber:
1)
Atribusi:
wewenang yang diberikan atau ditetapkan untuk jabatan tertentu. Dengan demikian
wewenang atribusi merupakan wewenang yang melekat pada suatu jabatan.
2)
Pelimpahan
§
Delegasi:
wewenang yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ
lain dengan dasar peraturan perundang-undangan
§ Mandat: wewenang yang
bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang
lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah (atasan bawahan).
- Sifat Kewenangan
1)
Kewenangan
Terikat: apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan
bagaimana kewenangan tersebut dapat digunakan.
2)
Kewenangan
Fakultatif: terjadi dalam hal badan tata usaha negara tidak wajib menerapkan
wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan.
3)
Kewenangan
Bebas: apabila peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan tata
usaha negara untuk menentukan mengenai isi dari keputusan yang akan
dikeluarkan. Kewenangan tersebut oleh Hadjon dibagi menjadi 2 yakni
kewenangan i) untuk memutus secara mandiri, dan ii) kebebasan penilaian
terhadap tersamar.
- Batasan Kewenangan
Setiap wewenang itu dibatasi oleh isi/materi (materiae),
wilayah/ruang (locus), dan waktu (tempus). Cacat dalam
aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat wewenang
atau dalam artian bahwa di luar-luar batas-batas itu suatu tindakan pemerintahan
merupakan tindakan tanpa wewenang (onbevoegdheid). Tindakan tanpa
wewenang bisa berupa (1) onbevoegdheid ratione materiae, (2) onbevoegdheid
ratione loci, dan (3) onbevoegdheid ratione temporis.
3.
Hubungan Handelings
Bekwaanheid dengan Rechts Bevoegd
Undang-undang
menentukam bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum, seseorang harus telah cakap
dan berwenang. Seseorang dapat dikatakan telah cakap dan berwenang harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang yaitu telah dewasa, sehat
pikirannya (tidak dibawah pengampuan) serta tidak bersuami bagi wanita.
Menurut Pasal 330
KUH.Perdata seorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah
kawin sebelum mencapai umur tersebut. Mengenai kedudukan seorang istri, sejak
keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, tanggal 5 September
1963 yang mencabut beberapa pasal KUH.Perdata diantaranya pasal 108 dan 110
KUH.Perdata maka status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap
kecakapan bertindak yang dilakukannya. Dengan kata lain sejak dicabutnya pasal
108 dan 110 KUH.Perdata oleh Surat Edaran Mahkamah Agung diatas, maka istri
adalah cakap bertindak dalam hukum.
Disamping undang-undang
juga telah menentukan bahwa walaupun tidak memenuhi syarat-syarat diatas, seorang
dianggap cakap dan berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu. Kecakapan
berbuat(handelings bekwaamheid) dan kewenangan bertindak menurut hukum ini(recht
bevoegdheid) adalah dibenarkan dalam ketentuan undang-undang itu sediri,
yaitu :
a. Seorang
anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan seluruh
perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun dan telah mendapat surat
pernyataan Dewasa (venia aetatis) yang diberikan oleh Presiden, setelah
mendengar nasihat Mahkamah Agung.(pasal 419 dan 420 KUH. Perdata).
b. Anak yang
berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah mendapat
Surat Pernyataan Dewasa dari Pengadilan.(pasal 426 KUH Perdata).
c. Seorang
yang belum berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat. (pasal 897 KUH.Perdata).
d. Orang
laki-laki yang telah mencapai umur 18 tahun dan perempuan yang telah berumur 15
tahun dapat melakukan perkawinan.(pasal 29 KUH.Perdata).
e. Pengakuan
anak dapat dilakukan oleh orang yang telah berumur 19 tahun. (pasal 282
KUH.Perdata).
f. Anak yang
telah berusia 15 tahun telah dapat menjadi saksi.(pasal 1912 KUH.Perdata).
g. Seorang
yang ditaruh dibawah pengampuan karena boros dapat :
·
Membuat surat wasiat (pasal 446 KUH.Perdata)
·
Melakukan perkawinan (pasal 452 KUH.Perdata)
h. Istri
cakap bertindak dalam hukum dalam hal :
·
Dituntut dalam perkara pidana, menuntut perceraian
perkawinan, pemisahan meja dan ranjang serta menuntut pemisahan harta kekayaan.
(pasal 111 KUH.Perdata).
Membuat surat wasiat. (pasal 118 KUH.Perdata).
4.
Perbedaan
Handelings Bekwaamheid dengan Recht Bevoegd
Cakap (bekwaan)
adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, Berwenang (bevoegd)
merupakan kriteria khusus yang dihubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan
tertentu. Seorang yang cakap belum tentu berwenang, tapi seorang yang berwenang
sudah pasti cakap.
Pokok pembicaraan dalam hal ini adalah Pasal
330 dan Pasal 1331 BW. Pasal 330 BW dipilih karena pasal tersebut yang mengatur
tentang usia dewasa atau kedewasaan,berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak
(handelings bekwaamheid) dan secara tidak langsung juga berkaitan dengan
masalah kewenangan bertindak (recht bevoegdheid) padahal ketentuan usia
dewasa sebagaimana diatur dalam pasal tersebut sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.
Kecakapan bertindak adalah kewenangan umum
untuk melakukan tindakan hukum. Kecakapan bertindak pada umumnya dan pada
asasnya berlaku bagi semua orang. Setelah manusia dinyatakan mempunyai
kewenangan hukum maka kepada
mereka diberikan kewenangan untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya. Untuk itu, diberikan kecakapan bertindak.
Dari ketentuan Pasal 1329 BW, doktrin
menyimpulkan bahwa semua orang pada asasnya cakap untuk bertindak, kecuali
undang-undang menentukan lain.
Kewenangan bertindak merupakan kewenangan
khusus, yang hanya berlaku untuk orang tertentu dan untuk tindakan hukum
tertentu saja. Kewenangan bertindak diberikan dengan mengingat akan tindakan,
untuk mana diberikan kewenangan bertindak sehingga tidak ada ketentuan umum
tentang kewenangan bertindak. Karena tindakan hukum menimbulkan akibat hukum
yang mengikat si pelaku,yang bisa membawa akibat yang sangat besar, maka kepada
mereka yang belum atau belum sepenuhnya bisa menyadari akibat dari tindakannya,
perlu diberikan perlindungan dalam hukum.
Untuk itu, pembuat undang-undang (BW)
mengaitkan lembaga hukum kecakapan bertindak dengan umur dewasa. Dalam
perkembangannya, batasan umur dapat dikatakan akan diseuaikan oleh adat di
daerah masing - masing. "Bisa saja di sebuah daerah seorang anak berusia
17 tahun dikatakan dewasa, namun di daerah lainnya baru dapat dikatakan dewasa.
Jadi apabila ada perkara yang berkaitan dengan masalah usia, coba tolong
dibedakan antara kecakapan sesorang dalam usia tersebut dan kewenangan yang
melekat padanya" pungkas Ketua Muda perdata mengakhiri pemaparannya.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Kecakapan bertindak adalah kewenangan umum
untuk melakukan tindakan hukum. Kecakapan bertindak pada umumnya dan pada
asasnya berlaku bagi semua orang. Setelah manusia dinyatakan mempunyai
kewenangan hukum maka kepada
mereka diberikan kewenangan untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya. Untuk itu, diberikan kecakapan bertindak.
Dari ketentuan Pasal 1329 BW, doktrin
menyimpulkan bahwa semua orang pada asasnya cakap untuk bertindak, kecuali
undang-undang menentukan lain.
Kewenangan bertindak merupakan kewenangan
khusus, yang hanya berlaku untuk orang tertentu dan untuk tindakan hukum
tertentu saja. Kewenangan bertindak diberikan dengan mengingat akan tindakan,
untuk mana diberikan kewenangan bertindak sehingga tidak ada ketentuan umum
tentang kewenangan bertindak.Karena tindakan hukum menimbulkan akibat hukum
yang mengikat si pelaku,yang bisa membawa akibat yang sangat besar, maka kepada
mereka yang belum atau belum sepenuhnya bisa menyadari akibat dari tindakannya,
perlu diberikan perlindungan dalam hukum. Untuk itu, pembuat undang-undang (BW)
mengaitkan lembaga hukum kecakapan bertindak dengan umur dewasa.
Dalam pasal 1329 Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie, Staatsblad 1847-23, ditetapkan, Een ieder is bevoegd om
verbintenissen aan te gaan, indien hij daartoe door de wet niet onbekwaam is
verklaard, (setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,
jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Engelbrecht,
menjelaskan: tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia
dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”
Daftar
Rujukan
Ganjong.
2007. Pemerintahan
Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor:
Ghalia Indonesia.
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Philipus M. Hadjon. 1997. Tentang Wewenang- No.5&6 Tahun XII. YURIDIKA.
Langganan:
Postingan (Atom)