Senin, 02 Juli 2012

PERCOBAAN (Poging) DALAM HUKUM PIDANA



  1. PENDAHULUAN

Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakuan sesuatu dalam keadaan diuji (Poerwanto, 1976:209). Yang dimaksud dengan usaha untuk berbuat adalah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai.
Pada umumnya kata percobaan (poging) berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada ahirnya tidak atau belum tercapai (Wirjono, 1981:89). Demikian juga Jonkers menyatakan bahwa ‘’mencoba berarti berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai’’ (Jonkers, 1987:155).
Sedangkan yang dimaksud dengan melakukan sesuatu dalam keadaan diuji adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu.
Tentang syarat untuk dapat dipidanya pembuat percobaan kejahatan dirumuskan dalam Pasal 53 ayat (1) yakni: poging tot misdrijf, wanneer het voornemen des daders zich door een begin van uitvoering heeft geopenbar en de uitvoering allen ten gevolge van omstandigheden van zijnen wil onafhanelijk, niet is voltoid.
Oleh BPHN dijermahkan : ‘’mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Percobaan kejahatan ini bukan suatu tindak pidana (yang berdiri sendiri) seperti pada istilah delik percobaan, akan tetapi ketentuan khusus dalam hal memperluas pembebanan pertanggungjawaban pidana, bukan saja terhadap si pembuat yang menyelesaikan tindak pidana dengan sempurna, tetapi dipertanggungjawabkan pula dengan dipidannya bagi sipembuat yang karena perbuatannya belum menyelesaikan suatu tindak pidana secara sempurna.
  

  1. PEMBAHASAN

1.      Pengertian Percobaan (Poging)

Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Percobaan (poging)  diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan.
Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana: (1) ada perbuatan permulaan, (2) perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai, dan (3) tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri. Adapun bunyi pasal 53 KUHP tersebut adalah sbb:
a)      Mencoba melakukan kejahatan yang dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata adanya dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
b)      Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal ini percobaan dapat dikurangi sepertiga.
c)      Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
d)     Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.

Sehingga untuk mengetahui arti dari perobaan dapat kita peroleh dari M.V.T (Memori Van Toelichting) mengenai pembentukan pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut adalah sebua kalimat yang berbunyi sebagai berikut:
‘’percobaan melakukan kejahatan adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan kejahatan tertentu yang telah diwujudkan didalam suatu permulaan pelaksanaan’’.
 Apabila kita membandingkan pengertian poging, maka harus terlebih dahulu dipahami bilamana delik telah dianggap selesai. Dan untuk menentukan bahwa suatu delik telah selesai, kita harus mengambil dasar sebagai suatu perbedaan yang terdapat dalam jenis delik:
a.       Delik formil adalah delik telah dianggap telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang. Misalnya, pasal 362 KUHP: yang dilarang mengambil barang orang lain.
b.      Delik materiil adalh delik telah dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang terlarang. Misalnya, pasal 338 KUHP yang dilarang adalah menyebabkan matinya orang lain.

Sifat Percobaan, terdapat 2 pandangan:
  1. Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang) sehingga, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang berdiri sendiri (delictum sui generis), tetapi dipandang sebgai bentuk delik tidak sempurna (onvolkomendelictsvorm). Dianut: HazewinkelSuringa, Oemar Seno Adji
  2. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan). Sehingga, percobaan dipandang sebagai delik yang sempurna (delictum sui generis)hanya dalam bentuk yang istimewa. Dianut: Pompe, Muljatno

2.Jenis-jenis Percobaan (Poging)
Adapun jenis-jens percobaan yaitu sebagai berikut:
-          Percobaan Selesai (violtooid poging)
-          Percobaan Tertunda (tentarif poging)
-          Percobaan Percobaan yang Dikualifikasikan
-          Percobaan Mampu
-          Percobaan Tidak Mampu (endulig poging)
  1. Percobaan Selesai / Percobaan Lengkap (Violtooid Poging / Delik Manque)
Adalah melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh-sama seperti tindak pidana selesai, akan tetapi karena sesuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi.
Selain itu suatu percobaan apabila sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk menyelesikan suatu tindak pidana tetapi tidak terwujud bukan atas kehendaknya maka juga disebut sebagai violtooid poging. Contoh : A menembak B tetapi meleset.
  1. Percobaan Tertunda / Percobaan Terhenti / Tidak Lengkap (tentarif poging / geschorste poging)
Adalah suatu percobaan apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk selesainya tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan tidak selesai atau percobaan yang perbuatan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Contoh : A akan membunuh B dengan membidikan pistol ke arah B tetapi dihalangi oleh C.
Untuk contoh lainnya misalnya, seorang pencopet yang telah mengulurkan dan memasukkan tangannya dan tela memegang dompet dalam tas seorang perempuan, tiba-tiba perempuan itu memukul tangan pencopet tersebut, sehingga terlepas dompet yang telah dipegangnya.

  1. Percobaan Yang Dikualifisir (gequalificeerde poging)
Adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaanya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju atau melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai hasil sebagaimana yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau tersendiri.
Contoh: seorang bermaksud membunuh orang yang dibencinya dengan tusukan pisau, tetapi orang tersebut tidak mati hanya luka-luka berat. Maka dalam hal ini pelaku dikenakan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (351 ayat 3), atau mungkin penganiayaan berat (351 ayat 1), penganiayaan berencana yang menimbulkan luka berat (351 ayat 2), atau penganiayaan berat berencana (355 ayat 1).
  1. Percobaan Mampu
1)      Menurut Simons
Percobaan yang mampu ada apabila perbuatan dengan menggunakan alat tertentu dapat membahayakan benda hukum. Contoh : Gula tidak berbahaya tetapi dalam keadaan tertentu (bagi pengidap penyakit gula) dapat membahayakan orang itu.
2)      Menurut Pompe
Ada percobaan mampu apabila perbuatan dengan memakai alat yang mempunyai kecenderungan (strekking) atau menurut sifatnya (naar haar aard) mampu untuk menimbulkan penyelesaian kejahatan yang dituju.
Contoh : Orang yang dengan maksud membunuh musuhnya, yang sebelumnya datang ke apotik membeli arsenicum karena kekeliruan pegawainya telah memberikan gula, kemudian orang itu memasukkan kepada minuman yang disuguhkan pada musuhnya, sehingga tidak menimbulkan kematian, kasus ini tidak boleh dipandang dari sudut gulanya saja, tetapi harus secara meneluruh.
Dari peristiwa ini maka telah ada percobaan yang dapat dipidana. Pandangan Pompe ini berpijak dari ajaran percobaan subjektif. Pandangan Pompe ini lemah jika dilihat dari syarat dipidananya percobaan pasal 53 (1) KUHP. Perbuatan demikian telah selesai penuh hanya akibatnya saja yang tidak timbul berhubung alatnya yang mutlak tidak sempurna.Syarat mutlak pembunuhan harus timbul akibat kematian.
3)      Menurut Van Hattum
Dalam menghadapi percobaan tidak mampu yang dapat dipidana atau tidak dapat dipidana dengan menggunakan ajaran adekuat kausal yang penting ialah bagaimana caranya kita memformulering perbuatan si pembuat dalam menggeneralisasi perbuatan itu sedemikian rupa untuk dapat menentukan apakah perbuatan itu adekuat  menimbulkan akibat yang dapat dipidana atau tidak.
Contoh : Orang hendak membunuh musuhnya dengan pistol, pistol itu di isi peluru kemudian ditaruh disuatu tempat. Tanpa diketahuinya ada orang lain mengosongkan pistol itu. Ketika musuhnya lewat, pistol diambil dan ditembakkan pada musuhnya, tapi tidak meletup. Dalam kasu ini keadaan konkret yang kebetulan ialah adanya orang yang mengosongkan isi pistol, hal ini tidak perlu dimasukakan dalam pertimbangan.
Dengan demikian pada kejadian ini dapat diformulering sebagai berikut : ” mengarahkan pistol yang sebelumnya telah diisi peluru kepada musuhnya dan menembaknya ” adalah adekuat untuk menimbulkan kematian, dengan demikian dapat dipidana.
4)      Menurut Mulyatno
Mengenai persoalan mampu atau tidak mampunya percobaan tidak dapat dipecahkan melalui teori adekuat kausal karena dalam kenyataannya tidak menimbulkan akibat yang dituju. Untuk memecahkan persoalan ini kita harus kembali kepada delik percobaan ialah pada sifat melawan hukumnya pada perbuatan. Jika percobaan bersifat melawan hukum maka percobaannya adalah percobaan mampu sehingga dapat dipidana.


  1. Percobaan Tidak Mampu (endulig poging)
Adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk menimbulkan tindak pidana selesai karena : (1) alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu dan (2) obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.
Percobaan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul (Arif, 1984: 18). Menurut hukum pidana percobaan tidak mampu dibedakan antara:
·         Percobaan tidak mampu karena objeknya tidak sempurna
-          Objek yang tidak sempurna obsulut
-          Objek yang tidak sempurna relatif
·         Percobaan tidak mampu karena alatnya tidak sempurna
1)      Alatnya yang tidak sempurna relatif
2)      Alatnya yang tidak sempurna absolut

1)      Percobaan Tidak Mampu karena Objeknya Tidak Sempurna
a)      Objek Yang Tidak Sempurna Absolut
Adalah suatu kejahatan mengenai objek tertentu yang ternyata tidak sempurna dan oleh karena itu kejahatan tidak terjadi dan tidak mungkin dapat terjadi. Karena objek yang tidak sempurna absolut, secara mutlak tidak dapat menjadi objek kejahatan.
Contoh : A hendak membunuh B, pada suatu malam A yang mengira B sedang tidur sehingga ditembaknya beberapa kali, dan A yakin B telah mati karena tembakannya. Ternyata menurut visum dokter, B telah meninggal sebelum kena tembakan A tersebut, dikarenakan B terkena serangan jantung mendadak. Berarti dia telah menembak mayat.  
Objek mayat, tidak mungkin dapat dilakukan kejahatan pembunuhan pada orang yang dikira tidur padahal ia sudah meninggal sebelumnya atau tidak mungkin menggugurkan kandungan pada wanita yang tidak hamil karena objek itu tidak ada. Dalam kasus ini tidak dapat dipidana.
b)     Objek Yang Tidak Sempurna Relatif
Adalah suatu perbuatan yang ditujukan untuk mewujudkan kejahatan tertentu pada objek tertentu, yang pada umumnya dapat tercapai  tetapi dalam khusus tertentu objek tersebut menyebabkan kejahatan tidak terjadi.
Contoh : brankas yang berisi uang yang pada umumnya pencuri membongkar brankas dan mengambil uang yang didalamnya. Tetapi dalam keadaan tertentu , misalnya siang harinya uang telah digunakan untuk membayar gaji karyawan sehingga brankas kosong. Brankas dalam keadaan kosong adalah objek yang tidak sempurna relatif.
 Contoh tersebut, pembuat telah menjalankan perusakan brankas oleh karena itu telah terdapat permulaan pelaksanaan dari pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan atau sampai pada barang yang diambil dengan merusak (pasal 363 ayat 5 KUHP ), atau dapat dipidana karena perusakan benda (pasal 406 ayat 1 KUHP ).
2)      Percobaan Tidak Mampu Karena Alatnya Tidak Sempurna
a) Alatnya Yang Tidak Sempurna Relatif
Yaitu melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan, dengan menggunakan alatnya yang tidak sempurna relatif, maksudnya disini adalah percobaan tersebut sebenarnya telah sampai kepada penyelesaian kejahatan yang diniatkan pelaku.
Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian rupa sehinga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Namun hal ini telah membahayakan kepentinga hukum sehingga pelaku perlu dipidana.
Contoh : A berniat membunuh B dengan menggunakan racun tikus (arsenikum), ternyata setelah dimakan oleh B, ia hanya sakit perut saja, hal ini mungkin disebabkan dosisnya kurang atau B mempunyai daya tahan yang kuat terhadap arsenikum tsb.
Dalam hal ini : racun, alatnya kejahatan dapat mematikan jika diminum orang pada umumnya, tetapi dapat menjadi relatif jika dosisnya kurang dan tidak cukup mematikan atau orang yang dituju mempunyai daya tahan yang kuat terhadap jenis racun tersebut.
Disini dapat terjadinya percobaan karena dalam hal demikian kejahatan dapat terjadi (jika dosisnya cukup). Oleh karena itu percobaan tidak mampu yang alatnya tidak sempurna relatif dapat dipidana.
b) Alatnya Yang Tidak Sempurna Absolut
Yaitu melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan, dengan menggunakan alatnya yang tidak sempurna absolut, sehingga kejahatan tersebut tidaklah dapat melahirkan tindak pidana atau mustahil akan terjadi.
Melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan dengan menggunakan alatnya yang tidak sempurna absolut kejahatan itu tidak mungkin terjadi. Syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 53 ayat 1 KUHP tidak mungkin ada dalam alat yang tidak sempurna absolut (mutlak).
Contohnya : Menembak musuh dengan pistol tetapi lupa mengisi pelurunya, secara absolut pembunuhan tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu percobaan juga tidak mungkin terjadi. MvT WvS Belanda menerangkan bahwa ”syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 yaitu syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan tertentu dalam buku II KUHP untuk terwujudnya kejahatan itu harus ada objeknya, kalau tidak ada objeknya tidak ada percobaannya.
Dapat ditarik kesimpulan dari apa yang diterangkan MvT bahwa percobaan tidak mampu hanya ada pada alat yang tidak sempurna saja dan tidak pada objeknya yang tidak sempurna.
Contoh lainnya: A pergi ke apotik untuk membeli arsenikum dengan maksud memasukkan ke dalam minuman B, supaya B mati, karena kesalahan apoteker ialah diberikan sebungkus gula kepada A yang seharusnya arsenikum. A tidak mengetahui kekeliruan itu, setelah sampai rumah benda tersebut dimasukkan dalam minuman B, ternyata B minum tidak terjadi apa-apa karena yang dimasukkan tadi bukan arsenikum, tetapi gula.

3.      Batas Antara Percobaan Mampu dan Percobaan
Tidak Mampu
  • Simons
Ia mengatakan bahwa percobaan mampu yaitu yang membahayakan benda hukum. Tidak bahaya itu harus ternyata di dalam keadaan khusus dalam mana perbuatan dilakukan.
  • Pompe
Menurut beliau ada percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang dipakai pada umumnya mempunyai kecndrungan atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik selesai. Misalnya: mencoba mau membunuh orang dengan terus menerus mendoakan supaya mati, bukan percobaan yang mampu.
  • Van Hattum
Adalah oranag yang terang-terangan menerangkan mampu atau tidaknya percobaan atas dasar hukuman adaequat, artinya perbuatan terdakwa itu ada hubungan kausal yang adekwet dengan akibat yang dilarang dengan undang-undang.

4.      Perbedaan Percobaan Mampu Dengan Percobaan
Tidak Mampu
Perbedaan dalam hal ini hanya bagi mereka yang menganut teori obyektif. Bagi mereka yang menganut teori ini tidak mengenal pemisahan antara percobaan mampu dan percobaan tidak mampu, karena menurut penganut ajaran ini menganggap bahwa dasar dipidananya percobaan kejahatan itu terletak pada niat untuk melakukan kejahatan.
Barda Nawari Arif mengatakan, bahwa menurut MvT tidak mungkin ada percobaan pada objek yang tidak mampu (tidak memadai), yang ada hanya pada alatnya saja, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang membedakan antara percobaan mampu dan tidak mampu adalah pada alat yang digunakan percobaannya saja.  


PENUTUP

Kesimpulan
Percobaan (poging)   adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Percobaan diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
1.      ada perbuatan permulaan,
2.      perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai,
3.      tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri.

Percobaan Mampu adalah percobaan yang mampu ada apabila perbuatan dengan menggunakan alat tertentu dapat membahayakan benda hukum atau suatu percobaan dengan menggunakan alat yang mempunyai kecenderungan (strekking) atau menurut sifatnya (naar haar aard) mampu untuk menimbulkan penyelesaian kejahatan yang dituju.
Sedangkan Percobaan Tidak Mampu adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk menimbulkan tindak pidana selesai karena : (1) alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu dan (2) obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.









Jumat, 08 Juni 2012

ANALISIS SYAIR " الإعتراف " ABU NAWAS

Latar Belakang Puisi yang berjudul الإعتراف dikarang oleh seorang penyair Islam yang termasyur. Beliau bernama lengkap Abu Nawas Al-Hasan bin Hini Al-Hakami, lahir pada 145 H (747 M) di Persia tepatnya di kota Ahvaz. Ayahnya bernama Hani al-Hakam, yang berasal dari Arab dan merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Abu Nawas hidup pada masa bani Abbasiyah atau disaat pemerintahan khalifah Harun Ar Rasyid. Sejak kecil ia sudah yatim, ibunya kemudian membawanya ke Bashrah (Irak). Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan. Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, pengkhayal ulung, penuh canda, berlidah tajam, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh akan warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah menjadi religius. Puisi berisi tentang syair pengingat dosa dan kematian yang di karang Abu Nawas ini, itu boleh dibilang begitu melegenda, seperti nama besar pengarangnya Abu Nuwas yang hingga kini tetap dikenang dan diperbincangkan. Meski syair itu telah berumur hampir 11 abad, namun tampaknya tetap akan abadi. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Salah satunya terlukis dalam untaian syair yang berbunyi Ilahi lastu lilfirdausi ahla wa la aqwa ‘ala naril jahimi # fahabli taubatan waghfir dzunubi fainnaka ghofirudz dzanbil ‘adzimi. Dua bait tersebut adalah bagian dari syair Abu Nawas yang berjudul “ I’tiraf “ yang berisi tentang ungkapan penyesalan atas dosa –dosa yang telah ia perbuat selama hidupnya. Naskah Syair إلهي لست للفردوس أهلا # ولا أقوى على نار الجحيم فهب لي توبة واغفر ذنوبي # فإنك عافر الذنب العظيم ذنوبي مثل أعداد الرمال # فهب لي توبة ياذا الجلال وعمري ناقص في كل يوم # وذنبي زائد كيف احتمال إلهي عبدك العاصي أتاك # مقرا بالذنوب وقد دعاك وإن تغفر فأنت لذاك أهل # وإن تطرد فمن نرجو سواك Terjemahan Ya Tuhanku, aku pantas menjadi penghuni surga-Mu Namun, aku juga tidak kuat dengan siksa api neraka Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar Dosa-dosaku laksana butiran pasir Maka terimalah taubatku Wahai Pemilik Keagungan sisa umurku berkurang setiap hari Dan dosaku bertambah, bagaimana aku menanggungnya Ya Tuhanku, hamba-Mu yang berdosa ini datang kepada-Mu Mengakui dosa-dosaku dan telah memohon pada-Mu Seandainya Engkau mengampuni, memang Engkaulah Pemilik Ampunan Dan seandainya Engkau menolak taubatku, kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain hanya kepada-MU Pembahasan Syair taubat Abu Nawas yang berjudul “ I’tiraf ”, merupakan puisi penyesalan beliau atas dosa –dosa yang telah ia perbuat selama hidupnya. Telaah terhadap syair Abu Nawas " I'tiraf " ini menganut teori Joezef Hasyim melalui ‘aqly, khayaly, ‘athify dan fanny yang dipadukan dengan teori struktural Sangidu (2003) melalui tema dan bangunan, daya bayang dan daya imajinasi, diksi atau pilihan kata dengan sentuhan makna dan pilihan kata dengan sentuhan bunyi atau rima dan irama. 1. Unsur ‘Aqly Syair Abu Nawas " I'tiraf " diatas dibangun dalam 6 bait, dengan mathla’nya yang berbunyi : إلهي لست للفردوس أهلا # ولا أقوى على نار الجحيم Kepiawaian penyair dengan merendahkan dirinya dalam menuliskan syair menunjukkan adanya makna istirham yang tersimpan dalam kalam khabar. Dua ungkapan tersebut dihubungkan dengan wawu washol , pada ungkapan kedua terdapat lafadz النار yang memiliki makna berlawanan dengan lafadz فردوس pada ungkapan pertama, dimana dalam ilmu balaghah disebut ath-thibaaq. فهب لي توبة واغفر ذنوبي # فإنك غافر الذنب العظيم `Ungkapan pertama pada bait ini merupakan bentuk kalam insya' thalabi yaitu bentuk amr, sedangkan pada ungkapan kedua merupakan bentuk kalam khabar, namun pada ungkapan kedua ini diawali dengan fa' fashol karena dlorurotusy syi'r. Ungkapan فهب لي توبة dan واغفر ذنوبي merupakan bentuk ithnab yakni pengulangan makna yang sama dalam konteks yang berbeda. ذنوبي مثل أعداد الرمال # فهب لي توبة ياذا الجلال Dalam bait ketiga ini ungkapan pertama merupakan bentuk kalam khabar dan ungkapan kedua merupakan bentuk kalam insya' thalaby yang berupa amr. Dua ungkapan tersebut dihubungkan dengan fa’ washol. وعمري ناقص في كل يوم # وذنبي زائد كيف احتمال Dalam bait keempat ini ungkapan pertama merupakan kalam khabar, sedangkan ungkapan kedua merupakan bentuk kalam insya' thalabi bentuk istifham bermakna istirham, dua ungkapan tersebut dihubungkan dengan wawu washol, dalam bait ini terdapat bentuk thibaq yaitu lafadz ناقص dan زائد . ungkapan كيف احتمال merupakan jawab dari ungkapan وذنبي زائد وعمري ناقص في كل يوم إلهي عبدك العاصي أتاك # مقرا بالذنوب وقد دعاك Dalam bait kelima ini terdapat dua kalimat yang mempunyai kedudukan yang sama dalam i’rabnya yang dalam ilmu balaghah dinamakan isytirak fi mahalli al-i’rab, kedua ungkapan ini merupakan bentuk kalam khabar. وإن تغفر فأنت لذاك أهل # وإن تطرد فمن نرجو سواك Dalam bait keenam ini ungkapan pertama dan kedua merupakan bentuk kalam khabar. Pada ungkapan pertama ungkapan فأنت لذاك أهل merupakan jawab dari وإن تغفر sedangkan pada ungkapan kedua ungkapan فمن نرجو سواك merupakan jawab dari وإن تطرد. 2. Unsur Khayaly dan ‘Athify Upaya menjaring pesona pembaca terhadap pesan yang dikemukakan dalam puisi الاعتراف antara lain dengan variasi bentuk perbandingan atau tasybih. Pada bait kedua terdapat bentuk tasybih dlimni , فهب لي توبة واغفر ذنوبي # فإنك غافر الذنب العظيم Pada bait diatas ungkapan kedua merupakan hujjah dari ungkapan pertama. Pada bait ketiga terdapat bentuk tasybih ghoiru tamtsily yaitu pada ungkapan ذنوبي مثل أعداد الرمال yang wajah syabahnya adalah sesuatu yang tidak terbatas. 3. Unsur Fanny Syair الإعتراف merupakan kategori puisi semi modern karena diikat oleh irama atau bahr yang sama dan bunyi akhir atau qafiyah yang beragam, pada bait pertama dan kedua berqafiyah mim, bait ketiga dan keempat berqafiyah lam, dan bait kelima dan keenam berqafiyah kaf. Pada bait ketiga terdapat kata الرمال dan الجلال , pada bait kelima terdapat kata أتاك dan دعاك . Puisi الإعتراف diawali dengan bait : إلهي لست للفردوس أهلا # ولا أقوى على نار الجحيم bisa dikategorikan sebagai bara’atul istihlal atau pesona awal, dan diakhiri dengan bait: وإن تغفر فأنت لذاك أهل # وإن تطرد فمن نرجو سواك Bisa dikategorikan sebagai bara’atul ikhtitam atau pesona akhir.

Kamis, 09 Februari 2012

VISUM ET REPERTUM

A. Pengertian Visum Et Repertum Visum et repertum disingkat ‘’VeR’’ adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia. Dalam kaitannya dengan pencarian kebenaran yang berhubungan dengan peradilan, kita telah mencatat beberapa hal yang dilakukan manusia pada zamannya untuk mewujudkan kesemuanya itu, diantaranya: 1. Pada abad pertengahan, dikenal adanya istilah ‘’Judicia Dei’’ (Keputusan Tuhan) yang kemudian diganti dengan ‘’Reinigingseed’‘ (sumpah bersih diri), dalam kaitannya mendasari pencarian sebuah kebenaran dalam proses penyelesaian perkara. 2. Kemudian pada abad ke-8 untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan apakah seseorang tersebut telah melakukan tindak pidana atau tidak, didasarkan pada pengakuan tersangka. 3. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia maka pada akhir abad ke-18 pemahaman dalam hukum berubah sehingga istilah ‘’pijbank’’ (pengakuan) tersangka dalam hubungannya dengan pencarian kebenaran tentang telah dilakukannya tindak pidana mulai ditinggalkan. 4. Mengenai pencarian kebenaran sebelum berlakunya Hukum Acara Pidana Nasinal (baca KUHAP), juga masih diwarnai hal-hal sebagaimana tersebut di atas, khususnya yang berkenaan dengan pengejaran seseorang untuk mengakui terhadap apa yang telah dilakukannya. Visum et repertum kemudian digunakan bukti yang sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban penganiayaan, pemerkosaan, maupun korban yang berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah memeriksa (korban). Khusus untuk perempuan visum et repertum termasuk juga pernyataan oleh dokter apakah seseorang masih perawan atau tidak. B. Prosedur Permohonan Visum Et Repertum Secara garis besar permohonan visum et repertum, harus memperhatikan hal sebagai berikut: 1. Permohonan harus dilakukan secara tertulis, oleh pihak-pihak yang berkenaan dengan itu dan tidak diperkenankan dilakukan melalui lisan, maupun lewat via telepon. 2. Permohonan visum et repertum harus diserahkan oleh penyidik bersamaan dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti kepada ahli dokter kehakiman. C. Bagian-bagian Tetap VeR Ada lima bagian tetap dalam laporan Visum et repertum, yaitu: 1. Pro Justisia Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum. 2. Pendahuluan Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa. 3. Pemberitaan Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua keterangan pemeriksaan. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran. 4. Kesimpulan Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap hasil pemeriksaan, berisikan:  Jenis luka  Penyebab luka  Sebab kematian  Mayat  Luka  TKP  Penggalian jenazah  Barang bukti  Psikiatrik D. Hakikat Visum Hakikat visum: mencari kejadian yang sebenarnya terjadi atau dialami korban. Kita tidak bisa memakai data polisi untuk menganalisa, oleh karena visum: apa yang dilihat dan apa yang didapat, bukan yang didengar. Kesimpulan bahwa meninggal, akibat kecelakaan lalulintas bukan kesimpulan dokter tetapi kesimpulan polisi. Dokter hanya memberikan data tentang luka-luka dan sebab kematian. Dokter tidak bisa berkesimpulan bahwa korban sedang mabuk oleh karena kadar alkohol yang disebabkan mabuk berbeda-beda untuk tiap orang dan dokter tidak bisa pastikan apakah kadar alkohol tertentu orang/korban menjadikannya mabuk. Dokter hanya bisa berikan data bahwa terdapat alkohol dan kadar sekian dalam darah korban. 1. Pada kasus kecelakaan lalu lintas Pada kasus kecelakaan lalu lintas yang diberikan dokter, apakah: - kecelakaan (data) - sengaja ditabrak (data) - Mabuk (data) - Bunuh diri (data) - Mati baru ditabrak (medis) diketahui dari sebab kematian Ingat dalam visum jangan hanya menyimpulkan sebab kematian tetapi juga patogenesis kematiannya. 2. Pada luka tembak Pada luka tembak harus disimpulkan: a. Sebab kematian b. Jarak dan arah tembakan c. Pemberitaan: Barang bukti Ringkasan dan kesimpulan → bukan barang bukti 3. Kasus Luka Tusuk Data: a) Luka tusuk dari belakang menembus dan merobek aorta yang menyebabkan perdarahan ± 750 cc dalam rongga dada. b) Luka tusuk dari arah belakang tembus hepar menyebabkan perdarahan 300 cc. Data medis lain yang membantu polisi: apakah hamil atau tidak pada korban ♀ → membantu polisi menganalisa dan menyimpulkan sebab akibat/hubungan kehamilan dan penikaman. Perlu dokter mendeskripsikan luka bukan deskripsi jenis senjata sebab nanti polisi yang mendeskripsikan senjata. 4. Tugas-tugas dalam membuat visum :  Memindahkan luka – luka ke kertas sebagai pengganti barang bukti.  Menalar sebagai saksi ahli untuk sampai pada kesimpulan. 5. Kesimpulan yang dibuat/dimuat dalam visum  sebab kematian  saat kematian  patogenesa sebab kematian, dengan tujuan untuk mengetahui apakah korban mati secara wajar atau tidak. E. Visum Et Repertum sebagai Alat Bukti Visum Et Repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang apa yang dilihatnya, apa yang ditemukannya, apa yang didengarnya, sehubungan dengan dengan seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya dan seseorang yang mati. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitannya dengan kemungkinan telah terjadi tindak pidana. Visum Et Repertum merupakan surat yang dibuat atas sumpah jabatan, yaitu jabatan seorang dokter, sehingga surat tersebut mempunyai keotentikan. Maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Untuk adanya visum et repertum harus ada terlebih dahulu keterangan saksi 2. Alat bukti surat sesungguhnya merupakan penjabaran dari visum et repertum. 3. Dari alat bukti tersebut, dapat diperoleh alat bukti baru yaitu petunjuk. Dengan demikian, antara keterangan saksi, visum et repertum, alat bukti surat dan petunjuk merupakan empat serangkai yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Menurut Bismar Siregar, SH, sebagaiman yang dikutip Ibnu Artadi, SH., menjelaskan bahwa visum et repertum dari dokter dalam perkara-perkara pidana yang berhubungan dengan luka atau kematian, hendaknya jangan sampai menghambat proses persidangan. Visum et repertum sebagai alat bukti tidak mengikat hakim, jadi kalau visum belum ada jangan sampai menghambat sidang. Visum hanya alat bukti tambahan . Sementara itu R. Sudarsono berpendapat, beliau menuturkan bahwa bagaimanapun visum diperlukan, hakim tidak bisa mengambil kesimpulan yang lebih dari seorang dokter dan biasanya memang visum tersebut seluruhnya diambil alih oleh hakim . F. Otopsi Sebagai Unsur Visum et Repertum Dalam hal segala sesuatu yang berkenaan dengan kematian seseorang yang diduga sebagai korban tindak pidana atau setidaknya patut diduga sebagai akibat tindak pidana, yang selanjutnya akan diproses melalui pengadilan, maka diperlukan hal-hal sebagai berikut: (a) Bahwa mayat yang dimaksud adalah merupakan barang bukti, sehingga Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik berhak atas baran bukti tersebut, yang selanjutnya akan menentukan jenis pemeriksaannya. Dalam hal ini pasal 133 KUHAP menegaskan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, karena keracuan ataupun mati yan diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakimanaau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat, dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlalukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilaksanakan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian badan mayat. (b) Bahwa dalam hal penyidik berpendapat mayat tersebut untuk kepentingan pemeriksaan perlu dilakukan pembedahan maka penyidik wajib memberitahukan kepada keluarga korban, dengan disertai penjelasan tentang maksud dan kegunaan dilakukannya pembedahan tersebut. Dalam pasal 134 KUHAP di tegaskan: (1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib member tahu terlebih dahulu kepada keluarga korban. (2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan mayat. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidi segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) UU ini. (4) Dalam hal terdapat seseorang yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan (bedah mayat) sebagaimana tersebut dalam point 2 tersebut di atas, diancam dengan pidana. Berdasarkan tinjauan yuridis konstitusinal, visum et repertum dapat dimasukkan dalam kategori alat bukti yang lain, yaitu keterangan saksi dan petunjuk. Dengan pertimbangan bahwa visum et repertum merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang, sementara peradilan di Indonesia menagnut system pembuktian negatif, maka ada baiknya apabila hakim merasa terikat terhadap keberadaan alat bukti tersebut. Mengenai kerahasian visum et repertum kiranya perlu dilihat urgen dan dimensinya. Artinya, apabila untuk kepentingan peradilan, maka akan sangat tidak mungkin apabila kebenaran materiil hokum dapat diwujudkan di atas kerahasiaan. Dengan pertimbangan bahwa hanya dokterlah yang mengetahui jenis dan penyebab adanya luka, maka bukan hanya korban meninggal saja yang memerlukan pemeriksaan dokter. Dalam hal untuk menjamin keobjektivitasan dalam proses peradilan, maka terhadap korban kejahatan yang meninggal harus diotopsi (pembedahan mayat).