Kamis, 10 November 2011

PENGANTAR ILMU HUKUM

A. Pengertian Hukum

Hukum berasal dari bahasa Arab yaitu ‘’ al-hukm’’ (الكم). Secara harfiah al-hukm berarti kaidah (norma) atau ketetapan. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut ‘’law’’, dalam bahasa Belanda disebut ‘’recht’’, dan dalam bahasa Perancis disebut ‘’droit’’.
Aristoteles dalam karangannya yang berjudul Rhetorica (1924) menyatakan: ‘’particular law is which each community lays down dan apllies to its own members. Universal law is the law of nature.
Sedangkan menurut Van Volenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsche Indie, menyatakan: ‘’recht is een verchijnsel der almaar stromende samanleving, met andere vershijnsel in rusteloze wisselwerking van stuw en tegenstuw’’. (Hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup,yang bergejolak terus-menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala lainnya).
Ilmu hukum adalah pengetahuan yang khusus mengajarkan kepada kita perihal hukum dan segala seluk-beluk yang berkaitan dengan di dalamnya, misalnya sumber-sumber, wujud, pembagian macam, sifatnya, sistemnya, dan segala faktor yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dan sebagainya.
Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yan bersifat manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan yang tidak benar menurut harkat kemanusiaan atau pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk manifestasinya atau teori ilmu hukum yang menyangkut pemikiran mengenai hukum atas dasar yang paling luas.
Pokok bahasan ilmu hukum luas sekali, meliputi hal-hal yang bersifat filsafat, sosiologis, historis, maupun komponen-komponen analitis dari teori hukum.

B. Badan Hukum

1. Pengertian Badan Hukum
Badan Hukum adalah “Orang” (person) dalam dunia hukum adalah subyek hukum atau pendukung hak dan kewajiban. Setiap manusia adalah pembawa hak (subyek hukum) dan mampu melakukan perbuatan hukum atau mengadakan hubungan hukum yang harus diikuti dengan adanya kecakapan hukum (rechsbekwaamheid) dan kewenangan hukum (rechtsbevoedgheid).

2. Badan Hukum terbagi atas dua macam :

a. Badan Hukum Privat
Badan Hukum Privat (privaatrecht) yaitu perkumpulan orang yang mengadakan kerja sama (membentuk badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Badan Hukum Privat yang bertujuan Provit Oriented (contoh : Perseroan Terbatas) atau Non Material (contoh : Yayasan)

b. Badan Hukum Publik
Badan Hukum Publik (publiekrecht) yaitu badan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan atau aparatnya dengan warga negara yang menyangkut kepentingan umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, hukum international dan lain sebagainya. Contoh : Negara, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia.

Menurut pasal 1653 BW badan hukum terbagi dalam beberapa macam, yaitu:
• Badan hukum yg diadakan oleh pemerintah. Misal ; pemerintah daerah
• Badan hukum yg diakui pemerintah. Misal : organisasi agama
• Badan hukum yg didirikan untuk suatu maksud. Tertentu yg tidk bertentangan dengan UU.


Ada empat teori yg digunakan sebagai syarat badan hukum untuk menjadi subyek hukum. Yaitu :

1. Teori Fictie
yakni sesuatu yang sesungguhnya tdk ada tetapi org menghidupkannya dlm bayangn sbg subyek hukum yg dpt melakukan Perb.hkm spt manusia. Dikemukakan oleh Eriedrich Carl Von Savigny (jerman) dan Opzomer (belanda)

2. Teori Kekayaan Bertujuan
Ada kekayaan yg bkn merupakn kekayaan seseorg,tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Teori ini dikemukakan oleh Brinz dan Van der Heijden dari belanda

3. Teori Pemilikan
Teori ini diajarkan o/ Planiol, Star Busman dan Molengraaf. Menurut teori ini hak dan kewajiban suatu perkumpulan adalah hak dan kewajiban para anggotanya. Kekayaan para anggota adalah kekayaan bersama. Org2 yg berhimpun tsb mrpkn suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yg dinamakan badan hukum

4. Teori Organ
Adalah suatu organisme yg riil, yang menjelma sungguh2 dlm pergaulan hkm, yg dpt membntk kemauan sndiri dgn perantara alat-alat yg ada padanya. Misalnya:Koperasi memiliki RUPS, pengurus, dll. Pengikut teori ini adalah Otto Van Gierke, Z.E Polano.


C. Objek Hukum

Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Objek Hukum berupa benda atau barang ataupun hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis. Dapat dibedakan antara lain : (1) benda berwujud dan tidak berwujud, dan (2) benda bergerak dan tidak bergerak

D. Tujuan Dan Kegunaan Pengantar Ilmu Hukum

Tujuan Pengantar Imu Hukum adalah menjelaskan tentang keadaan, inti dan maksud tujuan dari bagian-bagian penting dari hukum, serta pertalian antara berbagai bagian tersebut dengan ilmu pengetahuan hukum. Adapun kegunaannya adalah untuk dapat memahami bagian-bagian atau jenis-jenis ilmu hukum lainnya.

E. Kedudukan Dan Fungsi Pengantar Ilmu Hukum

Kedudukan Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar bagi pelajaran lanjutan tentang ilmu pengetahuan dari berbagai bidang hukum. Sedangkan kedudukan dalam kurikulum fakultas hukum adalah sebagai mata kuliah keahlian dan keilmuan.
Oleh karena itu pengantar ilmu hukum berfungsi memberikan pengertian-pengertian dasar baik secara garis besar maupun secara mendalam mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Selain itu juga pengantar ilmu hukum juga berfungsi pedagogis yakni menumbuhkan sikap adil dan membangkitkan minat untuk denagan penuh kesungguhan mempelajari hukum.


DAFTAR RUJUKAN

Ali, Moh. Daud. 1990. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Syahrani, Riduan. 2004. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Tutik,Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Senin, 07 November 2011

IKATAN BIDAN INDONESIA (IBI)

PENGERTIAN BIDAN

Pengertian menurut IBI (Ikatan Bidan Indonesia) adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai persyaratan yang berlaku, dicatat, diberi ijin secara sah untuk menjalankan praktik.
Sedangkan pengertian Bidan menurut Kepmenkes no. 900/MENKES/SK/ VII/2002 bab I pasal 1 : Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti program pendidikan bidan dan lulus ujian sesuai persyaratan yang berlaku.
Menurut WHO, Bidan adalah seseorang yang telah diakui secara regular dalam program pendidikan kebidanan sebagaimana yang telah diakui skala yuridis, dimana ia ditempatkan dan telah menyelesaikan pendidikan kebidanan dan memperoleh izin melaksanakan praktek kebidanan.
Sementara itu definisi Bidan menurut International Confederation Of Midwives (ICM) yang dianut dan diadopsi oleh seluruh organisasi bidan di seluruh dunia, dan diakui oleh WHO dan Federation of International Gynecologist Obstetrition (FIGO). Definisi tersebut secara berkala di review dalam pertemuan Internasional / Kongres ICM. Definisi terakhir disusun melalui konggres ICM ke 27, pada bulan Juli tahun 2005 di Brisbane Australia ditetapkan sebagai berikut: Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.
Sedangkan pengertian Kebidanan itu sendiri adalah satu bidang ilmu yan mempelajari keilmuan dan seni yang memersiapkan kehamilan, menolong persalinan, nifas dan menyusui, masa interval dan pengaturan kesuburan, klimakterium dan menopause, bayi baru lahir dan balita, fungsi-fungsi reproduksi manusia serta memberikan bantuan/dukungan pada perempuan, keluarga dan komunitasnya.
Pelayanan Kebidanan adalah bagian integral dan sistem pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan yang telah terdaftar yang dapat dilakukan secara mandiri, kolaborasi, atau rujukan.
Sementara itu praktik kebidanan adalah implementasi dari atau ilmu kebidanan oleh badan yang bersifat otonom, kepada perempuan, keluarga dan komunitasnya, didasari etika dan kode etik bidan.


ORGANISASI BIDAN

Ikatan Bidan Indonesia (IBI) merupakan wadah persatuan dan lambang kesatuan bidan-bidan Indonesia. IBI secara resmi berdiri pada tanggal 24 Juni 1951, sebagai hasil Konfrensi Bidan Seluruh Indonesia yang diprakasai oleh Ikatan Bidan Jakarta, dan dikukuhkan sebagai badan hukum tanggal 15 Oktober 1954 dalam Lembaran Negara no J.A 5927.
IBI bertujuan:
a. Menggalang dan mempererat persaudaraan antara sesama bidan khususnya dan sesama wanita pada umumnya
b. Membina, mengembangkan dan mempertinggi pengetahuan dan keterampilan anggota terutama dalam bidang profesi kebidanan
c. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan terutama dalam pemliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat
d. Meningkatkan martabat dan kedudukan bidan dalam masyrakat.

Berbagai kegiatan telah diselenggarakan oleh IBI baik dalam maupun luar negeri, adalah sebagai berikut:
a. Menjadi anggota KOWANI
b. Ikut serta sebagai pendiri Yayasan Pencegah Kebutaan Indonesia
c. Menjadi anggota Internatonal Conpederation Midwives (ICM) yang berpusat di London
d. dll


SUMPAH/JANJI BIDAN

Hal ini diatur dalam Kepmenkes no 882/Menkes/SK/IX/1995, tanggal 23 September 1965 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Bidan. Para lulusan Pendidikan Bidan diberikan ijazah Bidan sebagai tanda lulus, dan diwajibkan mengucapkan sumpah/janji sbb:
• Bahwa saya sebagai Bidan akan melakukan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab
• Bahwa saya sebagai Bidan dalam melaksanakan tugas tidak akan membedakan pangkat, kedudukan, golongan, bangsa dan agama.
• Bahwa saya tidak akan menceritakan kepada siapapun segala rahasia yang berhubungan dengan tugas saya sebagai Bidan, kecuali jika diminta pengadilan untuk keperluan kesaksian.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan kepada saya.


TUGAS POKOK DAN FUNGSI SEORANG BIDAN

1. Melaksanakan asuhan kebidanan kepada ibu hamil (Ante Natal Care)
2. Melakukan asuhan persalinan fisiologis kepada ibu bersalin (Post Natal Care)
3. Menyelenggarakan pelayanan terhadap bayi baru lahir (kunjungan neanatal)
4. Mengupayakan kerjasama kemitraan dengan dukun bersalin di wilayah kerja puskesmas.
5. Memberikan edukasi melalui penyuluhan kesehatan reproduksi dan kebidanan.
6. Melaksanakan pelayanan Keluarga Berencana (KB) kepada wanita usia subur (WUS).
7. Melakukan pelacakan dan pelayanan rujukan kepada ibu hamil risiko tinggi (bumil risti)
8. Mengupayakan diskusi audit maternal perinatal (AMP) bila ada kasus kematian ibu dan bayi.
9. Melaksanakan mekanisme pencatatan dan pelaporan terpadu pelayanan puskesmas.

Senin, 24 Oktober 2011

Bayi Tabung

Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur di luar tubuh (in vitro fertiliziaton), atau proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas/tabung gelas (nah nyambung juga kan dengan kata tabung). Dan vertilization adalah bahasa Inggrisnya pembuahan.
Dalam proses bayi tabung atau IVF, sel telur yang sudah matang diambil dari indung telur lalu dibuahi dengan sperma di dalam sebuah medium cairan. Atau menggunakan suatu alat khusus semacam alat untuk laparoskopi dilakukan pengambilan sel telur dari wanita yang baru saja mengalami ovulasi.
Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa, dengan harapan dapat berkembang menjadi bayi.
Status bayi tabung ada tiga macam, yaitu:
1. Inseminasi buatan dengan sperma suami
2. Inseminasi buatan dengan sperma donor
3. Inseminasi buatan dengan sperma titipan

Dasar hukum pelaksanaan bayi tabung di Indonesia adalah undang-undang Kesehatan no. 23 tahun 1992, yaitu sbb:
a. Pasal 16 ayat (1) kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami isteri mendapat keturunan.
b. Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah dengan ketentuan:
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim isteri darimana ovum berasal.
2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
3) Pada sarana kesehatan tertentu.
c. Ketentuan menenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Penjelasan dari pasal 16 tersebut jika secara medis dapat dibuktikan bahwa pasangan suami isteri yang sah benar-benar tidak dapat memperoleh keturunan secara alami, pasangan suami isteri tersebut dapat melakukan kehamilan diluar cara alami sebagai upaya terakhir melalui ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
Pelaksanaan upaya kehamilan diluar secara alami harus dilakukan sesuai dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang telah memenuhi persyaratan untuk penyelenggaraan upaya kehamilan diluar cara alami dan ditunjuk oleh pemerintah.

Rabu, 05 Oktober 2011

INTI AJARAN MAZHAB SEJARAH

A. Latar Belakang

Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Mazhab ini dipelopori oleh Friedrich Karl von Savigny melalui suatu manuskrip yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Sehingga dia dipandang sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah.
Adapun pokok-pokok pemikiran Friedrich Karl von Savignyc yaitu, sbb:
a. Masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian.
b. Karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
c. Hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif).
d. Jiwa bangsa (Volkgeist) itulah yang menjadi sumber hukum.
e. Das Rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke.
f. Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Kelahiran mazhab Sejarah ini dilatari oleh dua faktor, yaitu buku yang ditulis oleh Montesquieu (1689-1755) yang berjudul “L’ esprit des Lois” (semangat hukum) dan semangat nasionalisme pada abad ke-19. Sebagai pelopor, Savigny mengkritisi usulan Thibaut yang menganjurkan kodifikasi hukum perdata Jerman dengan mengacu pada Code Napoleon Prancis.
Buku karangan Montesquieu yang terbit pada tahun 1748 tersebut menjelaskan bahwa ada relasi yang kuat antara jiwa suatu bangsa dengan hukum yang dianutnya . Hukum yang diperpegangi dan dianut suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang direpresentasikan oleh nilai-nilai dan tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan demikian bersifat dinamis, sehingga berimplikasi pada dinamisnya hukum. Dengan lain perkataan, dinamisasi nilai-nilai dan tatanan sosial menyebabkan dinamisasi pada hukum yang diperpegangi masyarakat.
Inti ajaran Montesquieu dalam bukunya “L’ esprit des lois” sebagai berikut:
1. Ajaran Montesquieu mempunyai dua definisi sentral, yaitu:
 Mencari ke bawah kulit peraturan formal hukum untuk mendapatkan inspirasi serta hubungannya dengan bentuk pemerintahan dan dengan suatu substruktur sosial yang dinamis dari kelompok politik yang mendasarinya.
 Penyelenggaraan hukum sebagai hal yang selalu ada secara wajar (the necessary relation deriving from the nature of things) yang akan menerangkan terjadinya berbagai jenis politik-yuridis karena sifat ketergantungannya pada fenomena-fenomena sosial lain seperti adat-istiadat, penduduk, agama, dan sebagainya.
2. Aksentuasi kajian pada persoalan bagaimana hubungan hukum dengan negara yaitu sebagai pelaksana hukum.
3. Hukum sangat bergantung pada morfologi atau bentuk fisik lingkungan masyarakat, sehingga kajiannya menggunakan metode fisika sosial.
4 Hukum diselenggarakan oleh pembuat undang-undang dan membedakan hukum dengan adat istiadat yaitu hukum itu diselenggarakan sementara adat istiadat diilhamkan.
5. Hukum adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat.
6. Membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecenderungan metafisika yang dogmatis dan membawanya pada telaah yang lebih dekat pada perbandingan hukum.
7. Hukum merupakan hasil dari sejumlah anasir-anasir yang inheren dalam masyarakat sehingga hukum dapat dipahami dengan menelaah locus hukum tersebut berkembang.
8. Hukum bersifat relatif, karenanya hukum harus dipelajari dalam konteks latar belakang historis masyarakatnya.
Selain buku Montesquieu, kelahiran mazhab Sejarah juga dilatari oleh paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Semboyan “Deutsch uber alles” mengekspresikan tingginya nasionalisme masyarakat Jerman yang sekaligus menjadi antitesa dari konsep Thibaut yang menyerukan kodifikasi hukum Jerman dalam perundang-undangan dengan patron kodifikasi hukum Prancis (Code Napoleon) .
Seruan Thibaut tersebut menurut Savigny sangat tidak sejalan dengan jiwa rakyat (volksgeist) Jerman karena sejatinya, jiwa rakyat Jerman sangat berbeda dengan jiwa rakyat Prancis. Inilah yang kemudian mendorong Savigny untuk mengembangkan ajarannya tentang hukum, yaitu “Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke” (hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Karena itu, menurut Savigny, masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda, sehingga hukum masing-masing bangsa juga berbeda.
Implikasinya, tidak ada hukum yang berlaku secara universal dan substansi hukum sangat ditentukan oleh pergaulan hidup dan pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat .

B. Pandangan Mazhab Sejarah terhadap Hukum

Mazhab sejarah memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami dengan menelaah kerangka atau struktur kesejarahan (historisitas) dimana hukum tersebut timbul. Menuturt Friedrich Karl von Savigny hukum merupakan representasi kesadaran hukum masyarakat (voklgeist) . Hukum berasal dari adat-istiadat, sejumlah kepercayaan atau keyakinan bukan berasal dari legislator, melainkan berasal dari jiwa rakyat yang luhur dan dinamis . Pandangannya tersebut dilatar belakangi oleh sikap kontra produktifnya terhadap kodifikasi hukum perdata Jerman yang menjadikan hukum Prancis (Code Napoleon) sebagai patron.
Savigny berangkat dari satu keyakinan bahwa masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terlihat dari perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa, baik dari segi kooptasi nilai-nilai maupun perwujudannya semisal bentuk pergaulan, etika pergaulan, dan sebagainya. Ekspresi perbedaan tersebut juga tampak pada eksistensi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Masing-masing bangsa memiliki tatanan hukumnmya sendiri, dan berbeda secara substantif dengan hukum yang dimiliki bangsa lain .

C. Inti Ajaran Mazhab Sejarah

1. Hukum Tidak Dibuat Melainkan Ditemukan
Hukum bersifat organis, hukum pada dasarnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, dan menyesuaikan dengan perubahan sosial, karena hukum bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh pembuat hukum. Proses demikian merupakan proses yang alami atau tidak disadari karena menjadi bagian internal dalam lingkup pergaulan masyarakat.
2. Undang-undang Tidak Berlaku Secara Universal
Undang-undang merupakan representasi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Undang-undang hanya berlaku di suatu bangsa atau kelompok bangsa tertentu (suku) dan pada kurun waktu tertentu. Savigny berpendapat, setiap bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi yang khas .
Curzon mengemukakan: “Law is a special product of people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it dies away when a people loses its individuality. Law have no universal validity; the apply solely to the nations in which they are created”
“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat (punahnya masyarakat). Hukum tidak berlaku secara universal; penerapannya terbatas pada bangsa dimana hukum itu dibuat”.
Sebagai contoh negara kita Indonesia, undang-undang yang dibuat oleh legislatif dengan eksekutif tidak dapat diberlakukan atau diterapkan secara universal ke bangsa lain, seperti Malaysia, Singapura, dsb. Undang-undang tersebut hanya berlaku di Indonesia saja. Selain itu, undang-undang tersebut memiliki batas berlaku (temporal) karena substansinya tidak sesuai lagi dengan keinginan atau kesadaran hukum masyarakat. Oleh karenanya, amandemen perundang-undangan menjadi keniscayaan agar perundang-undangan tidak berseberangan dengan jiwa rakyat (volksgeist).
3. Hukum merupakan perwujudan dari jiwa rakyat atau kesadaran hukum masyarakat (volksgeist)
Terdapat hubungan yang dinamis antara hukum dengan kehidupan dan karakter masyarakat sebagai tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan masyarakat tersebut. Sebagai contoh hukum adat; hukum yang dihasilkan dari masyarakat bukan dari legislator, dan ditegakkan oleh masyarakat itu sendiri. Hukum berakar dalam sejarah masyarakat, dibangun atas dasar kesadaran penuh, keyakinan, dan adat istiadat yang dianut masyarakat. ”
Menurut Georg Friedrich Puchta (1798-1846) (murid Savigny) bahwa semua hukum merupakan perwujudan dari kesadaran umum masyarakat (volksgeist). “Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.”
Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan negara.
Dalam pemikirannya G.F. Puchta membedakan pengertian bangsa dalam dua jenis :
 Bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam”.
 Bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara). Sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Savigny menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas, dia menolak paradigma bahwa hukum itu dibuat, dan secara diametral dia menyatakan bahwa hukum itu ditemukan di masyarakat.
Hukum ada di masyarakat, dan karenanya pembuatan undang-undang tidak begitu penting. Inilah yang oleh sebagian ahli dipandang sebagai pesimisme hukum, karena menolak upaya luhur manusia untuk menciptakan hukum yang akan mengarahkan manusia ke masa depan yang lebih baik, masa depan yang berlandaskan pada keadilan .
Jiwa suatu bangsa sangat menentukan bagaimana mereka melihat, menginternalisasikan, dan mengaplikasikan aturan-aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari.
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah suatu bangsa
Hukum yang berlaku di suatu negara harus dilihat dalam konteks sejarahnya. Karenanya, hukum yang tidak bersumber dari sejarah atau jiwa bangsa dianggap bukan hukum karena hanya akan menciptakan ketidakpastian dan bukan tidak mungkin justru menggiring ketidakadilan dalam masyarakat.
Memahami hukum sebagai suatu kajian akademik-dialektis harus berlandaskan pada kajian historis-sosiologis, karena sejatinya sejarah masyarakat merupakan akar dari hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut.
5. Aturan-aturan hukum (undang-undang) yang bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat (volksgeist) harus dibatalkan karena sifat aturan hukum tidak lebih penting dari kesadaran hukum tersebut.
Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah atas penolakan sekelompok masyarakat terhadap aturan perundang-undangan tertentu karena didasari oleh adanya pertentangan antara aturan-aturan hukum tersebut dengan kesadaran hukum masyarakat.
Pertentangan tersebut, baik secara linier maupun diametral akan menimbulkan friksi secara tajam di masyarakat. Selain penolakan, tidak menutup kemungkinan adanya upaya untuk menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena sekali lagi, jiwa rakyat adalah supremasi tertinggi, dan karenanya aturan hukum harus tunduk dengan jiwa rakyat tersebut.
Menilik lebih jauh tentang ajaran mazhab Sejarah, volksgeist (jiwa rakyat) merupakan episentrum paradigma yang dibangun dalam suatu konsep abstrak. Volksgeist menjadi teramat penting, terutama karena konsep ini menurut mazhab Sejarah adalah akar dari hukum itu sendiri. Hukum yang baik tidak akan terbangun jika volksgeist tidak dijadikan sebagai patron dalam perumusan dan pelaksanaannya.
Sebagaiman pendapat Charles Stamford, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa hukum yang dipenuhi dengan ketidakpastian (ketidakteraturan) tidak akan mungkin dapat mewujudkan ketertiban yang sempurna, baik dalam hukum itu sendiri maupun di masyarakat.
Pendapat C.Sampford ini dikenal dengan “the disorder of law” atau ketidakteraturan hukum. Sampford melihat bahwa hukum tidak cukup (not suficient) untuk dianggap sebagai sebuah sistem, karena antara satu aspek dengan aspek lainnya tidak saling berpadu secara linier dan reliabel. Misalnya, koruptor yang seharusnya dihukum berat (sesuai amanat undang-undang) dalam kenyataannya ternyata banyak yang dihukum “ringan” bahkan tidak jarang divonis bebas, meskipun secara formil-materil terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Belum lagi perilaku yuris yang sangat jauh dari idealitas aturan-aturan hukum, yang tidak menjadikan kode etik profesi sebagai patronase dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya; yaitu penegakan supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima.
Perundangan-undangan sebagai the ultimate law instrument (instrumen utama hukum) banyak yang bertentangan dengan kehendak dan keinginan masyarakat (kesadaran hukum masyarakat). Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang tidak jarang menabrak aspirasi masyarakat akan sebuah tatanan yang berkeadilan.
Memang, harus diakui undang-undang sejatinya bukanlah produk hukum, melainkan produk politik, akan tetapi kenyataan tersebut tidak boleh secara a priori dijadikan sebagai justiikasi atas kondisi demikian. Sekalian aturan selaiknya mendasarkan diri pada apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga pada penerapannya tidak menemui karang keras.
Mazhab Sejarah melihat hukum sebagai entitas yang organis-dinamis. Hukum bagi mazhab ini, dipandang sebagai sesuatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat.
Hukum bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya undang-undang tidak begitu penting. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya dan karenanya, benar argumentasi mazhab Sejarah, yaitu hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan dan bersumber dari jiwa rakyat.

Sabtu, 24 September 2011

Kegunaan Unsur Kimia Yodium

PENDAHULUAN

Yodium (Yunani: Iodes - ungu), adalah halogen yang reaktivitasnya paling rendah dan paling bersifat elektropositif. Dalam unsur kimia (tabel periodik) yodium memiliki simbol I dan nomor atom 53. Unsur ini diperlukan oleh hampir semua mahkluk hidup. Sebagai catatan, seharusnya astatin lebih rendah reaktivitasnya dan lebih elektropositif dari pada yodium, tapi kelangkaan astatin membuat sulit untuk mengkonfirmasikan hal ini.
Yodium biasanya terjadi di alam sebagai iodat dan iodide atau kombinasi keduanya. Yodium umumnya terjadi sebagai unsure minoritas dalam endapan kalium iodat (KIO), dalam air-asin (air tanah) dan air laut.
Menurut hasil survey ada 47 kandungan unsure yodium dalam kerak bumi, diantaranya adalah lautarit atau kalsium iodat anhidros (Ca(IO)) dan natrium yodida (NaI). Air laut mengandung yodium sekitar 0,05 ppm, sedang beberapa jenis rumput laut dapat diekstrak hingga kandunggan yodiumnya mencapai 0,45%. Yodium (i), Bromin (Br), Klorin (Cl) dan Flour (F) adalah termasuk senyawa halogen. Sifat dasar dari senyawa halogen adalah membentuk garam dengan cara kontak langsung dengan logam.
Yodium di alam tidak pernah ditemukan sebagai elemen tunggal, tetapi ia tersimpan di dalam senyawa, misalnya garam kalium peryodat (KIO). Dalam keadaan kering, garam ini sangat stabil sehingga bisa berumur lebih dari lima puluh tahun tanpa mengalami kerusakan.Itu sebabnya mengapa garam KIO dipakai sebagai suplemen untuk program yodisasi garam (atau garam beryodium).
Yodium merupakan sejenis mineral yang terdapat di alam, baik di tanah maupun di air, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan danperkembangan makhluk hidup. Yodium merupakan mineral yangdiperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil, sekitar 25 mg. Tetapiyodium mempunyai peranan yang sangat penting untuk pembentukan hormontiroksin. Yodium merupakan komponen struktural dari hormon tiroksin yangdihasilkan oleh kelenjar gondok tiroid yaitu, triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4). Fungsi yodium dalam tubuh sebagaikomponen yang penting dalam pembentukan tiroksin pada kelenjar gondok, sertapengendali transduksi energi seluler. Sebagaian besar tiroksin diserap melalui usus kecil, tetapi diantaranyalangsung masuk ke dalam sel darah melalui dinding lambung. Penyerapan yodium berlangsung cepat yaitu dalam waktu sekitar 3-6 menit setelah makanan dicernadalam mulut.

PEMBAHASAN

A. Kegunaan Yodium
Pada umumnya banyak sekali kegunaan iodium beberapa diantaranya adalah;
-Mencegah penyakit gondok

Pada umumnya wanita dan anak perempuan mempunyai kecenderungan lebih mudah kena penyakit gondok daripada laki-laki. Masa paling peka terhadap kekurangan iodium terjadi pada waktu usia meningkat dewasa (puber).Bila tubuh kekurangan iodium, kadar tiroksin dalam darah menjadi rendah. Kadar tiroksin yang rendah akan merangsang pituiraty untuk memproduksi lebih banyak hormon tiroid stimulating hormon. Hormon ini menyebabkan kelenjar tiroid membesar karena jumlah dan ukuran sel-sel epitel membesar.

-Sebagai obat antiseptik/iodine tencture
Iodine tencture adalah cairan encer berwarna cokelat gelap dengan bau alkohol dan yodium. Berfungsi untuk membersihkan dengan cepat dan untuk membersihkan luka kecil bagian luar. Kandungan iodie tencture =2,5% yodium dalam alkohol.


- Mencegah kretinisme

Kretinisme juga merupakan gejalakekurangan iodium yaitu kekurangan di intrauterin pada masa awal setelah bayi dilahirkan. Pertumbuhan bayi tersebut sangat terhambat, wajahnya kasar dan membengkak, perut kembung dan membesar,kulitnya menjadi tebal, kering dan seringf kali mengeriput,lidahnya membesar bibirnya tebal dan selalu terbuka. Gejala-gejala awal kretinisme tidak mudah dikenali sampai usia 3-4 bulan setelah lahir.

- Sebagai identifikasi dalam pengecatan gram mikroorganisme
Yodium merupakan pewarna Mordan , yaitu pewarna yang berfungsi memfiksasi pewarna primer yang diserap mikroorganisme target. Pemberian yodium pada pengecatan Gram dimaksudkan untuk memperkuat pengikatan warna oleh bakteri. terbentuk di dalam sel, sel tetap berwarna ungu akibat pemberian kristal violet pada sebelumnya.

- Sebagai indikator adanya kandungan pati (sakarida) pada sampel makanan
Pati yang berikatan dengan iodine akan menghasilkan warna biru. Sifat ini dapat digunakan untuk menganalisis adanya pati. Hal ini disebabkan oleh kandungan struktur molekul patiyang berbentuk spiral, sehingga akan mengikat iodine dan membentuk kompleks warna biru. Bila pati dipanaskan spiral merenggang, molekul-molekul iodin terlepas sehingga warna biru hilang.
Mekanismenya, larutan sampel diasamkan dengan HCL. Sementara itu dibuat larutan iodin dalam larutan KI. Kemudian ditambahkan larutan sampel sebanyak 1 tetes ke ddalam larutan iodin. Warna biru menunjukkan adanya kandungan pati pada sampel, sedangkan warna merah menunjukkan adanya glikogen atau eritrodekstrin.

- Sebagai identifikasi adanya kandungan lemak/minyak pada sampel
Beberapa uji kimia telah dilakukan untuk mengidentifikasi lemak. Semua lemak atau minyak mempunyai bilangan-bilangan khas dalam suatu kisaran nilai. Karena itu diperlukan beberapa uji untuk identifikasi salah satunha adalah dengan uji bilangan iodine

-Mencegah Iodine Deficiency Disorders (gangguan akibat kurang yodium) pada ibu hamil
Kekurangan yodium ternyata tak hanya berakibat pembesaran gondok saja. Bagiwanita pasangan usia subur yang mengalami Iodine DeficiencyDisorders(gangguanakibat kurang yodium) bisa mengakibatkan bayi yang dilahirkan mengalami retardasi mental, mata juling, bisu-tuli, tangan dan kaki kaku. Akibat yang lebih parah, bayi yang dilahirkan bisa memiliki kemampuan berfikir lebih rendah dibanding bayi yang dilahirkan ibu yang tak mengalami kekurangan yodium. Sebab, kemampuan IQ anak yang dilahirkan cuma seperlima dari anak normal. Cara yang paling mudah mengatasi hal itu adalah setiap ibu pasangan usia subur harus mengkonsumsi kapsul yodium yang diminum sekali setahun.

B. Sumber Ketersediaan Yodium
Laut merupakan sumber utama yodium, oleh karena itu makanan laut yang berupa ikan, udang dan kerang serta ganggang laut merupakan sumber yodium yang baik. Daerah yang dekat dengan pantai mengandung yodium cukup banyak, berbeda dengan daerah yang jauh dari pantai terutama daerah berkapur dan daerah yang mengalami erosi yang mempunyai sedikit atau tidak mengandung yodium.
Daerah yang jauh dari pantai mempunyai kandungan yodium yang sedikit, sehingga tanaman yang tumbuh mempunyai sedikit atau tidak sama sekali mengandung yodium. Salah satu cara penanggulangan kekurangan yodium di Indonesia adalah dengan cara fortifikasi melalui garam dapur dengan yodium.
Yodium dapat diperoleh dari air laut, air tanah pada kedalaman tertentu dan daerah tertentu. Air tanah yang dijadikan sebagai sumber yodium ini selanjutnya diberi istilah atau nama yang disebut air-asin. Air-asin ini dapat dijadikan sumber yodium karena salah satu komponennya adalah ion yidium yaitu sebesar 113,6 mg per liter air asin.

Rabu, 29 Juni 2011

Hukum Acara Pidana yang Berlaku di Indonesia

I. Pengertian
Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang-undang yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang No.8/1981, berlaku sejak 31 Desember 1981
Menurut Anonymous (2011) menyebutkan bahwa hokum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.

II. Sejarah Perkembangan Hukum Acara Pidana di Indonesia

a. Sebelum Masa Kolonial Sebelum Abad 16
1) Sebelum masuknya agama Islam
Pada masa awal, penduduk nusantara tidak membedakan antara hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Penduduk nusantara menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan masalah pidana maupun perdata di kalangan mereka. Cara pembuktian yang digunakan sering kali menggunakan kekuatan kekuatan gaib.
Bentuk-bentuk sanksi hukum pada masa itu ( dihimpun kemudian dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X) yakni sbb;
 penggantian kerugian ”immaterieel” dalam berbagai rupa, misalnya paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan,dsb.
 Bayaran uang adat kepada orang yang terkena,yang berupa benda sakti sebagai ganti kerugian rohani.
 Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari kotoran gaib (buang sial, dsb).
 Penutup malu/permintaan maaf.
 Rupa-rupa hukuman badan sampai dengan hukuman mati.
 Pengasingan dari masyarakat/peletakan orang di luar tata hukum adat (dibuang/tidak dianggap anak,dsb)

2) Saat Masuknya Agama Islam
Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara penyelesaian sengketa selalu berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil ijtihad.

b. Pada Masa Kolonial (Abad 16-17 Agustus 1945)
1) Belanda
Hukum yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh Belanda yang datang ke Indonesia di mana mulai diberlakukannya hukum tertulis di Indonesia. Pada zaman VOC diatur mengenai undang-undang tanah jawa pada tahun 1747 (javasche wetten), kmudian Daendels dan Raffles meneruskan usaha ini dengan terus mempelajari hukum adat.
2) Prancis
Pada saat Belanda dijajah Perancis, diberlakukanlah hukum Perancis di Belanda yang berdampak pada keberlakuan hukum tersebut di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda
3) Belanda
Setelah lepas dari jajahan Perancis, dikeluarkanlah firman raja untuk membentuk peraturan perundang-undangan baru yang diberlakukan di Indonesia dengan adanya asas konkordansi. Hukum acara pidana saat itu disebut hukum acara kriminil (HIR dan IR). Maka dibentuklah HIR yang diberlakukan di kota-kota besar dan IR di kota-kota lainnya). Ada pembedaan peradilan bagi kaum Eropa dan golongan Bumi Putera.
4) Jepang
Tidak ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal dihapusnya peradilan bagi golongan Eropa. Diatur bahwa Herziene Inlands Reglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (tihoo hooin) Reglement voor de Buitengeswesten berlaku untuk Pengadilan Tinggi (kotoo hooin) dan Landgerechtsreglement berlaku untuk Pengadilan Agung (saiko hooin).
c. Pada masa kemerdekaan (17 Agustus 1945-sekarang)
1) Orde lama
Pada masa ini, peraturan Belanda masih dipakai dengan berlakunya pasal II aturan peralihan UUD 1945, dimana segala badan negara dan peraturan perundangan yang ada masih berlaku selama belum ada yang baru yang diatur menurut Undang-undang. Undang2 yang mengatur acara pidana yaitu UU No:7/1947 tentang Kuasa Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
Zaman RIS dihasilkan beberapa ketentuan sebagai berikut;UU No:1/ 1950 LN 1950 No:30 dibentuk Mahkamah Agung di Jakarta dan Jogjakarta; menggantikan Hoogerechtshof.
UU No:18/1950 LN 1950 Nomer 27  landrechter di jakarta diganti menjadi Pengadilan Negeri.
Appleraad di Jakarta diganti menjadi Pengadilan Tinggi.
Dengan UU darurat ini telah diadakan unifikasi hukum acara pidana, yaitu;
• Acara pidana sipil untuk PN dan PT,dan berpedoman pada HIR.
• Acara pidana ringan berlaku Landrechtsreglement Sbld 1914 No:317 jo sbld 1917 No:323.
• Acara untuk banding diatur dalam pasal 7 s/d 20 UU darurat No:1/1951.
2) Orde baru
Dalam sejarahnya HIR buatan Belanda tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia maka mulai diadakanlah perancangan Hukum Acara Pidana yang baru.

III. Sejarah Pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia
Pada masa orde baru, terbukalah kesempatan untuk membuat peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, dibentuklah di departemen kehakiman suatu panitia untuk menyusun RUU Hukum Acara Pidana. Ada 13 pokok masalah yang dituangkan dalam materi undang-undang. Dalam perancangannya, hukum acara pidana Indonesia didasarkan pada HIR.
Awalnya dibentuk panitia yang diketuai Oemar Seno Adji;1968 yang berhasil menyusun Rencana UU Hukum Acara Pidana. Kemudian disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menggantikan Oemar Seno adjie menjadi menteri kehakiman,1974. Lalu diteruskan oleh Moedjono. Tim Sinkronisasi kemudian menelorkan RUU KUHAP yang disetujui sidang gabungan tim bersama-sama dengan DPR di gedung DPR Pusat pada tanggal 9 september 1981.
Hal-hal signifikan yang perlu diperhatikan dalam RUU KUHAP tahap akhir, ialah:
- Hilangnya kewenangan Kejaksaan (seperti yang tercantum dalam HIR) untuk menyidik.
- Diadakannya perubahan KUHAP dalam kurun waktu dua tahun setelah pengesahan KUHAP (pasal 284 ayat (2)).
RUU KUHAP disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, dan kemudian disahkan oleh presiden menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981.

IV. Sumber - Sumber Hukum Acara Pidana Indonesia

1. UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1)
UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”, dan Ayat (2) “Susunan dan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”.
Dalam Pasal 25 menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”, dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan 25 dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diaadakan jaminan dalam undang-undang kedudukanya para hakim”.
Dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 “Segala lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan UUD dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
2. Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
KUHAP atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Dengan berlakunya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai (herziening).
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum.

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
11. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.
12. Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.
13. Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.
15. Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana.

V. Hukum Acara Pidana Yang Berlaku Di Indonesia

Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.
Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
1. Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
2. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
3. Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
4. Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
5. Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.


DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Yahya. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Yahya, Andi Hamzah. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.Pidana Indonesia.

Minggu, 26 Juni 2011

Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana

A. PENDAHULUAN

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya.
Hukum pidana merupakanbagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

B. PEMBAHASAN

Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan (Darmawan, 1989).
Apabila hukum acara pidana dipandang dari sudut pemeriksaan, hal ini dapat dirinci dalam dua bagian, yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan pertama kali oleh polisi, baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik, apabila ada dugaan bahwa hukum pidana materil telah dilanggar.
Sedangkan pemeriksaan disidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak.
Didalam pemeriksaan pendahuluan, sebelum sampai pada pemeriksaan disidang pengadilan, akan melalui beberapa proses sebagai berikut:
1. Proses Penyelidikan dan Penyidikan.
Menurut kuhp diartikan bahwa penyelidakan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidak nya dilakukannya penyelidikan(pasal 1 butir lima kuhap). Dengan demikian fungsi penelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang acara pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP)
2. Petugas-Petugas Penyelidik dan Penyidik
Menurut pasal 4 penyidik adlah setiap pejabat polisi Negara republic Indonesia. Di dalam tugas penyelidikan mereka mempunyai wewenang- wewenangseperti diatur dalam pasal 5 KUHAP sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tending adanya tindak pidana
b. Mencari keterangan dan barang bukti
c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menayakan serta memeriksa tanda pengenal diri
d. Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang bertanggung jawab.

Yang termasuk penyidik adalah:
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, misalnya pejabat bead an cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hokum nya masing-masing.
3. Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan atua penyidikan merupakan tidakan pertama –tama yang dapat dan harus dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau timbul persangkaan telah terjadi tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejhatan atau pelanggaran maka harus diusakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan tindak pidana dan jika ia siapakah pembuatnya.
4. Penangkapan dan Penahanan
Penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim.(petranase. 2000. hlm:90)
Jadi, penangkapan dan penahanan adalah merupakan tindakan yang membatasi dan mengambil kebebasan bergerak seseorang. Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penahanan terdapat dalam pasal 20 dan 21 ayat 1 dan ayat (4).
5. Penangguhan dan Penahanan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugiakn kepentingannya karena tindakan penahanan itu yang mungkin akan berlangsung untuk beberapa waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan agar penahanannya ditangguhkan.
Berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam HIR yang menetapkan bahwa pejabat satu-satunya yang berwenang menangguhakan penahanan ialah hakim, maka menurut KUHAP yang berhak menentukan apakah suatu penahanan perlu ditangguhakan atau tidak ialah penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
6. Penggeledahan Badan dan Rumah
Penggeledahan badan dan penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan dan dengan surat perintah untuk itu dari yang berwenang. Yang dimaksud dengan penggeledahn badan ialah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badann atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita
7. Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
8. Pemeriksaan ditempat kejadian
Pemeriksaan ditempat kejadian pada umumnya dilakukan karena delik yang mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian dan perampokan. Dalam hal terjadinya kematian dan kejahatan seksual, sering dipanggil dokter untuk mengadakan pemeriksaan ditempat kejadiaan diatur dalam pasal 7 KUHAP.
9. Pemeriksaan Tersangka
Sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang dilakukan suatu tindak pidana, maka penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuaan hokum atau bahwa ia dalam perkara itu wajib didampingi penasehat hokum(pasal 114 KUHAP)
10. Pemeriksaan Saksi Dan Ahli
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradialan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
11. Penyelesaian dan Penghentian Penyidikan
Menurut H.Ap syarifudin petranase (2000)penyidikan itu dianggap selesai ketiaka dinyatakan bahwa:
a. Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu 7 hari,setelah penuntut umum menerima hasil pendidikan dari penyidik,ada pemberitahuan dari penuntut umum bahwa penyidikan diaanggap selesai. Pemberitahuan tersebut merupakan keharusan atau kewajiban bagi penuntut umum seperti yang diatur dalam pasal 138 ayat 1 KUHAP.
b. Penyidikan diaanggap selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik sebagaimana yang diatur dalam pasal 110 ayat 4 KUHAP

C. KESIMPULAN

Dalam hukum acara pidana di Indonesia mempunyai beberapa tahapan dalam melakukan pemeriksaan diantaranya yaitu:
1. Proses penyelidikan dan penyidikan
2. Petugas-petugas penyelidikan dan penyidikan
3. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan
4. Penangkapan dan penahanan
5. Pengguhan penahanan
6. Penggeledahan badan rumah
7. Penyitaanpemeriksaan surat
8. Pemeriksaan tersangka
9. Pemeriksaan saksi dan permintaan keterangan ahli
10. pemeriksaan ditempat kejadian
11. Penyelesaian dan penghentian penyidikan

DAFTAR PUSTAKA
Petranse, Syarifudin H.Ap dan Sabuan Ansori. 2000. Hukum Acara Pidana. Indralaya: Universitas Sriwijaya.
Yahya, Andi Hamzah,. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, cet. III, 2009

Senin, 04 April 2011

ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEBIDANAN

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Illahi Rabbi, yang telah memberikan berjuta-juta kenikmatan, baik rohani maupun jasmani, sehingga penulis dapat mengemban tugas dengan sebaik-baiknya.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada sang revolusioner sejati, Nabi Muhammad SAW. yang telah memberikan suri tauladan bagi umatnya untuk selalu menjalani kehidupan ini dengan menjunjung tinggi norma dan etika.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mendorong dan membantu penyusunan makalah ini, baik bantuan berupa moril maupun materil, sehingga penyusunan ini bisa kami selesaikan, walaupun masih banyak kekurangan di dalamnya. Terlebih kepada Bapak …… (nama dosen) yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan ini dengan sebaik-baiknya. Kami hanya bisa mendo'akan: jazaakumullahu ahsanal jaza'. Mudah-mudahan amal perbuatan Anda dibalas oleh Allah SWT. dengan sebaik-baik balasan. Amin
Semoga makalah yang telah penulis susun ini, bermanfaat bagi siapa saja yang haus akan ilmu, dan kehadirannya memberikan kontribusi intelektual yang berarti bagi pembentukan dan pembangunan mahasiswa Indonesia seutuhnya, cerdas dan berkompetitif.
Kritik dan saran konstruktif selalu penulis harapkan, dengan harapan apa yang akan penulis susun di kemudian hari bisa lebih maksimal dan sesuai dengan harapan bersama.
Semoga Allah SWT. meridhoi setiap langkah kita. Aamiin.

Malang, 30 Maret 20011
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

Membahas masalah etika profesi dan hukum kebidanan sangat penting bagi mahasiswa kebidanan untuk mengetahui tentang apa itu etika, apa itu moral dan bagaimana menerapkannya dalam praktik kebidanan. Sehingga dengan hal tersebut seorang bidan akan terlindung dari kegiatan pelanggaran etik/moral ataupun pelanggaran dalam hukum yang sedang berkembang di hadapan publik dan erat kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai provider kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan.
Etika juga sering dinamakan filsafat moral yaitu cabang filsafat sistematis yang membahas dan mengkaji nilai baik buruknya tindakan manusia yang dilaksanakan dengan sadar serta menyoroti kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan norma moral maka akan memperoleh pujian sebagai rewardnya, namun perbuatan yang melanggar norma moral, maka si pelaku akan memperoleh celaan sebagai punishmentnya.
Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan falsafah moral yaitu mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan/perkembangan norma/nilai. Pada zaman sekarang ini etik perlu dipertahankan karena tanpa etik dan tanpa diperkuat oleh hukum, manusia yang satu dapat dianggap sebagai saingan oleh sesama yang lain. Saingan yang dalam arti lain harus dihilangkan sebagai akibat timbulnya nafsu keserakahan manusia.
Kalau tidak ada etik yang mengekang maka pihak yang satu bisa tidak segan¬segan untuk melawannya dengan segala cara. Segala cara akan ditempuh untuk menjatuhkan dan mengalahkan lawannya sekadar dapat tercapai tujuan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ETIKA (KODE ETIK)

Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak.
Etika diartikan "sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan".
Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai: dalam bahasa Yunani yaitu Ethos, kebiasaan atau tingkah laku, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti Ethis, tingkah laku/prilaku manusia yg baik – tindakan yg harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya.
Selain itu etik juga merupakan aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap kenyataan yg sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar & konsep yg membimbing makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.

1. Sistematika Etika
Sebagai suatu ilmu maka etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya antara lain:
a. Etika deskriptif, yaitu memberikan gambaran atau ilustrasi tentang tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik/buruk serta hal-hal yang boleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
b. Etika Normatif, yaitu membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia, etika normatif juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok , sbb:
1). Etika umum, yaitu membahas hal-hal yang berhubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.
2). Etika khusus; yaitu terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
a) Etika sosial menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar sesama manusia dalam aktivitasnya.
b) Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai pribadi.
c) Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.
Pada tahun 2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan bangsa bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yaitu Pancasila.
Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika Kebidanan.
2. Kode Etik Profesi
Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:
a. Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga disebut kode kehormatan.
b. Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
c. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
d. Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.

B. ETIKA (KODE ETIK) PROFESI KEBIDANAN

Kode etik profesi merupakan "suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik yang berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendin".
1. Fungsi Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan
a. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
b. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg merugikan/membahayakan orang lain.
c. Menjaga privacy setiap individu
d. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya
e. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya
f. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah
g. Menghasilkan tindakan yg benar
h. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
i. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik, buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
j. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
k. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik serta mengatur hal-hal yang bersifat praktik
l. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara di dalam organisasi profesi
m. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg biasa disebut kode etik profesi.


2. Hak Kewajiban dan Tanggungjawab Kebidanan
Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien.
Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien.
a. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien, seperti:
1) Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3) Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.
4) Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.
5) Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan, persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.
6) Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses persalinan berlangsung.
7) Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
8) Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
9) Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengatahuan dokter yang merawat.
10) Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
11) Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:
a. Penyakit yang diderita
b. Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
c. Alternatif terapi lainnya
d. Prognosisnya
e. Perkiraan biaya pengobatan
12) Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
13) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
14) Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
15) Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
16) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit.
17) Pasien berhak menerima/menolak bimbingan moril maupun spiritual.
18) Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus mal¬praktek.
b. Kewajiban Pasien
1) Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan, perawat yang merawatnya.
3) Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan dan perawat.
4) Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
c. Hak Bidan
1) Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2) Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat jenjang pelayanan kesehatan.
3) Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi.
4) Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.
5) Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
6) Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
7) Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.
d. Kewajiban Bidan
1) Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan tempat dia bekerja.
2) Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.
3) Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami atau keluarga.
5) Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
6) Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.
7) Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.
8) Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan yang akan dilakukan.
9) Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.
10) Bidan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.
11) Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.

C. KODE ETIK HUKUM KEBIDANAN
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1. Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1) Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
• Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
• Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
• Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
• Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
• Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
• Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
• Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
• Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
• Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
2) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
• Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
• Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
3) Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
• Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
• Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
• Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
• Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2. Landasan Hukum Wewenang Bidan
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
a. Syarat Praktik Profesional Bidan
1) Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2) Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5) Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.

b. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
1). Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.
2). Pasal 15 :
a). Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.
b). Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).
c). Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
3). Pasal 16 :
a). Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
• Penyuluhan dan konseling
• Pemeriksaan fisik
• Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
• Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
• Pertolongan persalinan normal
• Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
• Pelayanan ibu nifas normal
• Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
• Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b). Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
- Pemeriksaan bayi baru lahir
- Perawatan tali pusat
- Perawatan bayi
- Resusitasi pada bayi baru lahir
- Pemantauan tumbuh kembang anak
- Pemberian imunisasi
- Pemberian penyuluhan

4). Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :
- Memberikan imunisasi
- Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
- Mengeluarkan plasenta secara secara manual
- Bimbingan senam hamil
- Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
- Episiotomi
- Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
- Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
- Pemberian infuse
- Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
- Kompresi bimanual
- Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
- Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
- Pengendalian anemi
- Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
- Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
- Penanganan hipotermi
- Pemberian minum dengan sonde/pipet
- Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
- Pemberian surat kelahiran dan kematian.
c. Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sbb:
1) Pasal 15
• Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
• Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
d) pada sarana kesehatan tertentu.

2) Pasal 80
• Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung, kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1). Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2). Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3). Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
3. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1). Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2). Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3). Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4). Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5). Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6).Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
1) Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.


DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
www.panglimaw1.blogspot.com. Diakses 1 April 2011.
http://bidankita.com

ETIKA (KODE ETIK) PROFESI KEBIDANAN

Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kode etik profesi merupakan "suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik yang berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendin".
Namun dikatakan bahwa kode etik pada zaman dimana nilai–nilai perada ban semakin kompleks, kode etik tidak dapat lagi dipakai sebagai pegangan satu–satunya dalam menyelesaikan masalah etik, untuk itu dibutuhkan juga suatu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum. Benar atau salah pada penerapan kode etik, ketentuan/nilai moral yang berlaku terpulang kepada profesi.
1. Fungsi Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan Kebidanan
a. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
b. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg merugikan/membahayakan orang lain
c. Menjaga privacy setiap individu
d. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya
e. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya
f. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah
g. Menghasilkan tindakan yg benar
h. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
i. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik, buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
j. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
k. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik
l. Mengatur hal-hal yang bersifat praktik
m. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara di dalam organisasi profesi
n. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg biasa disebut kode etik profesi.

2. Hak Kewajiban dan Tanggungjawab Kebidanan
Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien.
Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien.
a. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien, seperti:
1) Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3) Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.
4) Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.
5) Pasien berhak mendapatkan ;nformasi yang meliputi kehamilan, persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.
6) Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses persalinan berlangsung.
7) Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
8) Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dad pihak luar.
9) Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengatahuan dokter yang merawat.
10) Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
11) Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:
a. Penyakit yang diderita
b. Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
c. Alternatif terapi lainnya
d. Prognosisnya
e. Perkiraan biaya pengobatan
12) Pasien berhak men yetujui/mem berikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
13) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesuadah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
14) Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
15) Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
16) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit.
17) Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.
18) Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus mal¬praktek.
b. Kewajiban Pasien
1) Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tat tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan, perawat yang merawatnya.
3) Pasien dan atau penangungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan dan perawat.
4) Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
c. Hak Bidan
1) Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat jenjang pelayanan kesehatan.
2) Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
3) Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi.
4) Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.
5) Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
6) Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
7) Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.
d. Kewajiban Bidan
1) Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan dimana ia bekerja.
2) Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.
3) Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami atau keluarga.
5) Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
6) Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.
7) Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.
8) Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan yang akan dilakukan.
9) Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.
10) Bidan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.
11) Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secra timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.