Jumat, 31 Desember 2010

‘’Geen Straf Zonder Schuld’’ dalam arti luas dan sempit

PEMBAHASAN

Pasal-pasal KUHP mengenai tindak-tindak pidana yang masuk golongan “kejahatan” termuat dalam Buku II KUHP selalu mengandung unsur “kesalahan” dari pihak pelaku tindak pidana, yaitu kesengajaan.
Lain halnya dengan tindak-tindak pidana yang masuk golongan “pelanggaran”, termuat dalam Buku III KUHP. Di situ tidak ada suatu penyebutan unsur “kesalahan”, baik kesengajaan maupun kealpaan.
Dari perumusan pasal-pasal Buku III KUHP tidak ditemukan unsur kesalahan. Kenyataan ini dulu menimbulkan suatu pendapat, yang dalam hal “pelanggaran” menganggap seorang dapat dihukum karena melakukan perbuatan belaka tanpa kesalahan (materiel feit, fait meterielle)
Pendapat ini sejak semula ditentang oleh banyak orang, yang berpendapat bahwa tidak mungkin seorang dihukum tanpa kesalahan sedikitpun. Pada tanggal 14 Februari 1916 ada suatu putusan dari Pengadilan Tertinggi di Belanda (Hoge Raad), yang secara tegas membenarkan pendapat yang kedua ini, yang menganut semboyan “tiada hukuman pidana tanpa kesalahan” Geen straf zonder schuld.

A. “GEEN STRAF ZONDER SCHULD” DALAM ARTI LUAS

Berdasarkan asas hukum tersebut, untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang, maka hakim wajib memiliki keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti berbuat kesalahan, sebab “seseorang tidak dijatuhi pidana tanpa kesalahan”. Apakah yang dimaksud dengan “kesalahan” itu?
Dari pendapat beberapa hukum pidana, dapat dinyatakan bahwa batasan kesalahan adalah perbuatan yang mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dalam hal ini bukanlah pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku untuk adanya kesalahan.
Sudarto, dalam bukunya: Hukum Pidana I menjelaskan mengenai arti kesalahan, yaitu:

1. kesalahan dalam arti seluas – luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana ; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid ) si pembuat atas perbuatannnya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas perbuatannya.

Dengan diterimanya pengertian kesalahan ( dalam arti luas ) sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif ( normativer schuldbegriff ).

a. Pengertian kesalahan psychologis.
Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan dan pada kealpaan. Jadi dalam hal ini yang digambarkan adalah keadaan batin si pembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan

b. Pengertian kesalahan yang normatif
Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, tetapi juga ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Saat menyelidiki bathin orang yang melakukan perbuatan, bukan bagaimana sesungguhnya keadaan bathin orang itu yang menjadi ukuran, tetapi bagaimana penyelidik menilai keadaan batinnya, dengan menilik fakta – fakta yang ada.
Secara sederhana Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) Indonesia pada buku I bab II Pasal 44 menyatakan, “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya, atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.
Kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan atau kecerdasan yang membawa tiga kemampuan.
1) Mampu mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.
2) Mampu menyadari bahwa perbuatannya dilarang menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan.
3) Mampu menentukan kehendak atas perbuatannya itu.

2. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan ( schuldvorm ) yang berupa :

a. Kesengajaan (dolus)
Dalam pergaulan hidup di masyarakat sehari-hari, sering seseorang melanggar peraturan yang mengakibatkan suatu kerusakan. Untuk menghindarkan dirinya dari celaan masyarakat, hampir selalu dikatakannya “tidak saya sengaja”. Dan biasanya, apabila kerusakan itu tidak begitu berarti, perbuatan yang tidak dengan sengaja itu dimaafkan oleh pihak yang menderita kerugian; tidak dikenakan hukuman apapun.
Kesengajaan harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu satu, perbuatan yang dilarang. Kedua, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan ketiga bahwa perbuatan itu melanggar hukum.
Hal yang dimaksud kesengajaan ada tiga macam. Yang pertama, kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu. Kedua, kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi. Ketiga, kesengajaan yang disertai keinsafan hanya ada kemungkinan, bahwa suatu akibat akan terjadi (atau kesengajaan secara keinsafan kemungkinan).6

b. Kealpaan (culpa)
Perbuatan yang berupa kealpaan (culpa) juga merupakan perbuatan yang memenuhi unsur kesalahan. Biasanya tindak pidana berunsur kesengajaan, tetapi ada kalanya juga diakibatkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-kewajiban yang dalam hal tersebut yang oleh masyarakat dipandang seharusnya dijalankan olehnya.
Dalam hal ini celaan bukan disebabkan oleh kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti (mengetahui) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya masyarakat dirugikan.
Misalnya, orang yang mengendarai mobil sesuai dengan kewajiban–kewajiban yang diharuskan kepadanya, namun ada seorang anak yang tiba–tiba menyeberang jalan sehingga ditabrak oleh mobil dan meninggal dunia. Dalam hal ini ia tidak dapat dicela karena perbuatan yang menyebabkan anak itu mati sama sekali tidak disengaja olehnya ataupun terjadi karena kealpaannya.

B. “GEEN STRAF ZONDER SCHULD” DALAM ARTI SEMPIT

Dalam lingkup ini, dapat diartikan sama yakni tidak ada pidana tanpa kesalahan. Namun yang perlu digaris bawahi di sini yaitu, kita dapat mengartikan “kesalahan” dalam arti sempit, yaitu kesalahan yang berupa kealpaan (culpa) saja seperti yang disebutkan di atas. Akan lebih baik jika kita menggunakan istilah kealpaan saja untuk kesalahan dalam arti sempit. Jadi, di sini asas “Geen Straf Zonder Schuld” dalam arti sempit diartikan bahwa tidak ada pidana jika kesalahan tersebut berupa kealpaan.
Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar, sedangkan kealpaan kesalahan yang kecil. Karenanya dalam KUH Pidana kita sistemnya ialah bahwa delik-delik dolus diancam dengan pidana yang jauh lebih besar daripada ancaman bagi yang culpa.
Contohnya pasal 338 mengenai pembunuhan (dolus) diancam 15 tahun, pasal 359 menyebabkan mati karena kealpaan diancam 5 tahun penjara atau kurungan 1 tahun, pasal 354 penganiyayaan berat diancam 8 tahun dan jika sampai mengakibatkan mati diancam penjara 10 tahun.
Memang, kita tidak begitu saja dapat mengatakan bahwa kesengajaan adalah bentuk kesalahan yang besar dan kealpaan dipandang sebagai bentuk kesalahan yang kecil. Jika dipandang dari perspektif orang yang melakukan perbuatan, mungkin memang demikian. Karena orang yang melakukan perbuatan dan mengerti bahwa itu dilarang, menunjukkan sikap batin yang lebih jahat daripada sikap batin orang yang karena alpa atau lalai tentang kewajiban–kewajiban, sehingga menimbulkan perbuatan pidana. Dengan kata lain terdakwa bukanlah penjahat melainkan hanya lalai, kurang berhati–hati. Jika dilihat dari segi masyarakat yang dirugikan karena perbuatan tadi, keduanya adalah sama beratnya, tidak ada yang besar dan tidak ada yang kecil.
Dari pengertian-pengertian yang telah diuraikan di atas, maka kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yakni:
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut bentuk – bentuk kesalahan.
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf


PENUTUP

Secara umum “Geen straf zonder schuld” bermakna tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Kesalahan yang bagaimana? Pertanyaan tersebut dapat terjawab dalam artinya secara luas dan sempit, sebagai berikut.
Dalam arti luas, (ditinjau dari arti kesalahan yang luas) asas “Geen straf zonder schuld” berarti tidak ada hukuman tanpa kesalahan, yang mana kesalahan di sini meliputi unsur kesengajaan dan kealpaan.
Sedangkan arti sempit (ditinjau dari arti kesalahan yang sempit) dari asas “Geen straf zonder schuld” adalah tidak ada hukuman tanpa kesalahan, yang mana kesalahan di sini hanya meliputi unsur kealpaan saja.


DAFTAR RUJUKAN

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Buku I, II, III
Mono, Henny. 2007. Praktik Beperkara Pidana. Malang: Bayumedia Publishing.
Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco.

Senin, 06 Desember 2010

Hubungan Ungkapan The Truth Is In The Making, Teori James-Lange, dan Behaviorisme

PENDAHULUAN

Sebagai langkah awal, ada baiknya pengertian atau definisi mengenai pragmatisme dan behaviorisme serta gambaran singkat para tokoh pendukungnya; penulis papar-wacanakan terlebih dahulu sebagai pengantar pembahasan.

1. Definisi Pragmatisme

Secara etimologi, pragmatisme berasal dari kata Yunani "pragma" yang berarti perbuatan atau tindakan. "Isme" di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme berarti: ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah "faedah" atau "manfaat". Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil.

2. Definisi Behaviorisme

Secara bahasa, behavior berarti perilaku. Sedangkan istilah behaviorisme merupakan penamaan perihal teori belajar hewan dan manusia yang secara obyektif hanya berfokus pada perilaku – perilaku yang nampak serta menyisihkan aktivitas mental. Lebih jauh lagi, para teoretisi behaviorisme berpendapat bahwa belajar tidak lebih dari penambahan perilaku baru.

Pemaparan definisi di atas, memberi celah asumsi awal; akan adanya kecenderungan yang searah dan gradual antara pragmatisme dan behaviorisme; bahwa keduanya mendasarkan pengamatannya pada realitas terindera (tangible), materiil, berdimensi, dan nyata. Hal ini mirip karakteristik kebenaran menurut William James, bahwa true ideas are those that we can assimilate, validate, corroborate and verify. False ideas are those that we can not (kebenaran adalah segala hal yang dapat dimengerti, diberlakukan, dinyatakan, serta diuji).
Selanjutnya, penulis dedahkan simpul – simpul pembahasan; yakni analisa gramatikal ungkapan truth is in the making dan pembandingan dengan redaksi lain, kamudian teori James-Lange, khususnya yang berkaitan langsung dengan emosi, serta behaviorisme, sebagai sintesa dua simpul pembahasan sebelumnya.

A. Ungkapan The truth is in the making

Kalimat tersebut adalah jargon aliran filsafat pragmatisme, sebuah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan, yang mana kriteria kebenarannya adalah "faedah" atau "manfaat". Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar apabila teori dapat diaplikasikan.
Making secara literal berarti membuat, menerima, mancapai, dan memeroleh. Secara gramatika, dalam konteks kalimat ini ialah, bahwa “kebenaran disandarkan pada kegunaan (yang diperoleh atau yang dicapai)”. Redaksi yang lain berbunyi, a belief is true insofar as it “works,” is useful, or satisfies a function (suatu kepercayaan atau keyakinan dikatakan benar selama hal ini bekerja, berguna, dan memiliki fungsi maksimal).
Menurut Copleston, pemula aliran pragmatisme di Amerika Serikat adalah C.S. Peirce (1839-1914). Namun, secara pasti, pragmatisme lebih populer dan selalu dikaitkan dengan nama William James, karena dialah yang memopulerkannya. Hal ini bisa dimenegerti karena James sebagai lektor dan penulis lebih cepat terkenal dari pada Peirce sebagai filosof selama hidupnya.
Sebagai catatan, William James memberikan beberapa karakteristik dari terma “truth”, yang berlainan namun bersifat melengkapi, dari filsafat rasionalisme, dan empirisme; diantaranya adalah bahwa kebenaran (truth) adalah sebuah kesadaran utuh akan fenomena yang hadir, (the truth that the present phenomenon of consciousness exists) ; bahwa segala hal yang kita sadari dan kita ketahui berkaitan langsung dengan pengalaman, sehingga setiap keraguan dan keingintahuan kita hanya sanggup kita temukan pada ruang pengalaman.
James juga memosisikan kebenaran sebagai atribut atau sifat dari sebuah keyakinan atau sebuah ide, bukannya semacam objek yang diketahui atau sesuatu yang ada di dalam ide, selain dari pengalaman. Istilah kebenaran, yang diterapkan pada sebuah ide, hanya bermakna sejauh bagaimana ide bekerja. Sehingga kita bisa mendapatkan kejelasan tentang suatu keyakinan atau ide yang terkait dengan fenomena, dengan mempertimbangkan efek praktis bahwa ide mungkin pada konsekuensi yang bisa kita alami.

B. Teori James-Lange

Jika jiwa mampu memengaruhi wadag atau tubuh, dan sebaliknya, raga sanggup memberikan pengaruhnya pada jiwa, bagaimana keduanya berinteraksi? Rohani, sama sekali berbeda dengan jasmani, yang memiliki ukuran, lebar, tinggi, berat. Lantas, bagaimana mungkin, sesuatu yang tidak sifat – sifat fisik menggerakkan elemen materiil? Bagaimana mekanisme, seseorang yang tengah berselera untuk meminum kopi, menyebabkan secangkir kopi diminum?
Jawaban atas pertanyaan tersebut, dirangkai dan diformulasikan oleh William James dan koleganya dalam dunia psikologi, Carl Georg Lange; bahwa gejala psikologis menyebabkan perubahan sikap seseorang, sehingga reaksi tertuju pada stimulus, alih-alih stimulus yang justru bersifat determinan terhadap emosi.
Teori James-Lange ini menyatakan bahwa sebagai respon terhadap pengalaman di dunia sistem saraf otonom dalam diri manusia menciptakan peristiwa fisiologis seperti ketegangan otot, peningkatan denyut jantung, keringat, dan gejala- gejala lain. Emosi adalah perasaan yang muncul sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisiologis, bukannya titik atau hasil akhir dari aksi-reaksi manusia dan alam semesta. Lange secara khusus menyatakan bahwa perubahan psikomotorik adalah wujud emosi. Ali merasa bahwa oleh karena ia sedih, maka ia harus sedih, padahal menurut Lange, justru sebaliknya.



PENUUTUP

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa hubungan antara ungkapan the truth is in the making, teori James-Lange, serta behaviorisme adalah
Hal ini, seyogyanya semakin mempertebal rasa syukur kita akan melimpahnya anugerah Allah yang dikaruniakan kepada manusia, bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia. Kita juga semakin terpacu untuk membuat melakukan atau meciptakan sesuatu yang bermanfaat, karena hal itu benar adanya, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini.

17. Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan[770].

[770] Allah mengumpamakan yang benar dan yang bathil dengan air dan buih atau dengan logam yang mencair dan buihnya. yang benar sama dengan air atau logam murni yang bathil sama dengan buih air atau tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada gunanya bagi manusia.