Senin, 06 Mei 2013

4 SISTEM HUKUM PEMBUKTIAN

    Pembuktian adalah sangat penting karena sebagai pendukung didalam mencari kebenaran yang sejati, walaupun masih ada cacat didalamnya. Hukum pembuktian adalah salah satu dari hukum  acara pidana. Ini sangat berkaitan erat dengan bagaimana seorang hakim memutuskan suatu perkara pidana dengan dasar bukti, dan sebagainya.
    Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Adapun kriteria yang bisa disebut dengan pembuktian adalah: (a) menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca indra, (b) memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut, dan (c) menggunakan pikiran logis.

1.    Sumber-sumber Hukum Pembuktian

    Ada beberapa sumber pembuktian, diantaranya adalah: (a) Undang-undang, (b) doktrin atau ajaran, dan (c) Yurisprudensi. Perlu diketahui disini bahwa ketika di dalam praktik pembuktian menemukan kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.

2.    Sistem atau Teori Pembuktian

    Ada 4 (empat) teori atau sistem pembuktian didalam hukum pidana, yaitu: (a) Conviction in time (pembuktian berdasar keyakinan hakim), (b) Conviction in raison (pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim atas Alasan Logis), (c) sistem Pembuktian Positif (pembuktian menurut UU yang positif), dan (d) sistem pembuktian negatif (pembuktian menurut UU yang negatif).

a)    Conviction in Time

    Teori conviction in time adalah suatu ajaran pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata. Teori ini merupakan sistem pembuktian yang menentukan salah tidaknya sorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian "keyakinan" hakim. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
Hakim bisa saja menarik kesimpulan setelah memeriksa dan meneliti alat-alat bukti yang ada, atau bisa juga mengabaikannya dan langsung menarik sebuah kesimpulan berdasarkan keyakinannya. Tentu saja sistem memiliki kelemahan yaitu pembuktian yang cukup dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan.  Sehingga dalam sistem ini keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian.
    Hakim didalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti samata. Dari mana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada didalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada di persidangan.
Akibatnya didalam memutuskan perkara menjadi subyektif sekali, hakim tidak perlu menyebut alas an-alasan yang menjadi dasar putusannya. Seseorang  bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya. Demikian juga sebaliknya hakim juga bisa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang aa menunujukkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Kebenaran sejati ada ditangan hakim yakni sesuai dengan keyakinan hakim itu sendiri. Sistem pembuktian ini digunakan dalam sistem peradilan juri (jury rechtspraak) misalnya di Ingris dan Amerika Serikat.

b)    Conviction in Raison

    Dalam hal sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim telah dibatasi. Keyakian hakim dalam sistem pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction intime karena keyakinan hakim harus disertai alasan logis yang dapat diterima akal sehat. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).
Teori ini juga masih menyandarkan kepada keyakinan hakim.hakim tetap tidak terikat pada alat-alat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Meskipun alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim  bisa mempergunakan alat-alat bukti diluar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian didalam mengambil keputusan salah atau tidaknya seorang terdakwa haruslah didasarkan kepada dasar-dasar atau alas an-alasan yang jelas.
Jadi didalam teori ini hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alas an (reasoning). Oleh karena ituputusan tersebut juga berdasarkan alas an yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Keyakinan hakim haruslah didasari dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-semata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. System pembuktian ini sering disebut dengan system pembiktian bebas.

c)    Sistem Pembuktian Positif

    Sistem pembuktian positif adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindakan pidana hanya berdasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan.
    Pada pokoknya seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang telah ditentukan oleh undang-undang. Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidanakan. Seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang. Namun demikian, ada kebaikan dalam system pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif. Yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Sistem pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian Conviction in Time. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah menurut undang-undang.

d)    Sistem Pembuktian Negatif

    Sistem pembuktian negatif sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone. Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.[4] Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).
    Hakim didalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorag terdakwa terikat oleh alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan atau nurani hakim sendiri.Di dalam sistem negatif ini ada 2 (dua) hal yang yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa, yakni:
1)    Wettelijk: adanya alat bukti yang sah ditetapkan oleh undang-undang.
2)    Negatif: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kasalahan terdakwa. Akan tetapi, meskipun dalam suatu perkara telah terdapat cukup bukti sesui UU, hakim belum boleh menjatuhkan pidana sebelum ia memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.

3.    Prinsip Minimum Pembuktian

    Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu: (a) dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup), dan (b) kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu alat bukti sah saja sudah cupuk mendukung keyakinan hakim.

4.    Prinsip Pembuktian

Prinsip pembuktian dalam hokum pidana adalah sebagai berikut:
a.    Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (notoire feiten)
b.     Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)
c.    Pengakuan (keterangan) terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah.


1 komentar: