Jumat, 11 Maret 2011

Akta Otentik Dan Akta Di Bawah Tangan

A. AKTA OTENTIK

Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak. Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Sehingga surat yang tidak ditandatangani dapat dikategorikan sebagai surat bukan akta (vide Pasal 1869 KUHPerdata). Contoh surat bukan akta adalah tiket, karcis, dan lain sebagainya.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil),di tempat akta itu dibuat.(vide Pasal 1868 KUHPerdata, Pasal 165 Herziene Indonesisch Reglemen (“HIR”), dan Pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”)). Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja (vide Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 RBg). Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.
Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi sebagai alat bukti (probationis causa) Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Sebagai contoh perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil adalah perbuatan hukum disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata mengenai perjanjian hutang piutang. Minimal terhadap perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, disyaratkan adanya akta bawah tangan. Fungsi akta lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang paling penting adalah akta sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian hari.
Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPerdata). Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Sebaliknya, akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. (vide Pasal 1857 KUHPerdata)

Kedudukan Akta Otentik dalam Sistem Hukum Pembuktian
Alat bukti yang diajukan dalam acara persidangan di Pengadilan dapat dikategorikan sebagai :
1. alat bukti yang mencapai batas minimal yang ditentukan hukum
2. alat bukti yang tidak mencapai batas minimal; dimana yang terakhir dapat dikategorikan menjadi 2 bagian lagi yaitu :
- alat bukti yang tidak sah / tidak memenuhi syarat dan
- alat bukti permulaan ( begin van bewijs ).
Menurut M Yahya Harapan : Secara teknis dan populer dapat diartikan yaitu suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan; apabila alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal, alat bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.
Alat bukti yang sah/ memenuhi syarat adalah alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil, apabila alat bukti yang diajukan tidak memenuhi ke 2 syarat tersebut, maka alat bukti tersebut tidak sah sebagai alat bukti dan oleh karena itu tidak memenuhi batas minimal pembuktian.
Alat bukti permulaan adalah alat bukti yang tidak memenuhi batas minimal pembuktian apabila tidak ditambah paling sedikit satu alat bukti lagi, contohnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 1905 KUHPdt juncto pasal 169 HIR asas seorang saksi bukanlah saksi ( unus testis nullus testis ). Agar dapat memenuhi ketentuan batas minimal, maka perlu ditambah satu alat bukti lagi.
Patokan yang dapat digunakan agar alat bukti yang diajukan di persidangan mencapai batas minimal pembuktian adalah tidak tergantung pada jumlah alat bukti ( faktor kuantitas ) namun pada faktor kualitas alat bukti yaitu alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil.
Setiap alat bukti mempunyai syarat formil dan materiil yang berbeda-beda, misalnya alat bukti saksi :
1. Syarat formil :
a. orang yang tidak dilarang menjadi saksi ( Pasal 1910 KUHPdt, pasal 145 jo pasal 172 HIR )
b. mengucapkan sumpah menurut agama atau kepercayaannya sesuai pasal 1911 KUHPdt

2. Syarat materiil :
a. keterangan yang diberikan berisi segala sebab pengetahuan bukan berdasarkan pendapat atau dugaan yang diperoleh dengan menggunakan pikiran sesuai Pasal 1907 KUHPdt jo pasal 171 HIR;
b. keterangan yang diberikan saling bersesuaian dengan yang lain atau alat bukti lain ( Pasal 1906 KUHPdt jo pasal 170 HIR ).
Tidak seperti didalam sistem pembuktian dalam Hukum Pidana ( yang tidak mengenal alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan ), maka didalam sistem pembuktian dalam Hukum Perdata, setiap alat bukti memiliki batas minimal dan nilai kekuatan pembuktian yang berbeda-beda.
Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) yang melekat pada Akta Otentik diatur dalam pasal 1870 KUHPdt jo pasal 285 RBG adalah : sempurna (volledig bewijskracht), dan mengikat (bindende bewijskracht) ; sehingga Akta Otentik dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain, dengan kata lain Akta Otentik yang berdiri sendiri menurut hukum telah memenuhi ketentuan batas minimal pembuktian.
Namun yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat tersebut bukannya tidak dapat berubah status kekuatan dan pemenuhan syarat batas minimalnya.
Akta Otentik dapat saja kekuatan pembuktian dan batas minimalnya dapat berubah menjadi bukti permulaan tulisan (begin van bewijs bij geschrifte) yaitu apabila terhadapnya diajukan bukti lawan (tegenbewijs) yang setara dan menentukan.
Jadi yang perlu dipahami disini adalah bahwa bukti Akta Otentik tersebut adalah alat bukti yang sempurna dan mengikat namun tidak bersifat menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingend). Disinilah kedudukan yang sebenarnya dari Akta Otentik dalam sistem hukum pembuktian.

B. AKTA DIBAWAH TANGAN

Akta bawah tangan adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan dihadapan notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.
C. PERBEDAAN AKTA OTENTIK DENGAN AKTA DIBAWAH TANGAN
Sejak jaman Belanda, memang ada pejabat-pejabat tertentu yang ditugaskan untuk membuat pencatatan-pencatatan serta menerbitkan akta-akta tertentu mengenai keperdataan seseorang, seperti misalnya kelahiran, perkawinan, kematian, wasiat dan perjanjian-perjanjian diantara para pihak, dimana hasil atau kutipan dari catatan-catatan tersebut dianggap sebagai akta yang otentik. Arti sesungguhnya dari akta otentik adalah: akta-akta tersebut harus selalu dianggap benar, kecuali jika dibuktikan sebaliknya di muka pengadilan. Mengenai definisi dari akta otentik dituangkan dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa:
“akta otentik adalah akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai2 umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.”
Akta otentik harus memenuhi criteria sebagai berikut:
1. Bentuknya sesuai UU
Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dll sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak.
2. Dibuat di hadapan pejabat umum yg berwenang
3. Kekuatan pembuktian yang sempurna
4. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan
mengenai ketidak benarannya
Yang berhak untuk membuat akta otentik tidak hanya Notaris, karena yang dimaksud dengan “pejabat umum yang berwenang” itu sendiri adalah pejabat yang memang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan tersebut, misalnya: Pejabat KUA atau pejabat catatan sipil yang bertugas untuk mencatat perkawinan, kelahiran dan kematian, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan lain sebagainya.
Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa:
1. Bentuknya yang bebas
2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum
3. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tdk disangkal oleh pembuatnya
4. Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya.
Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar