Sabtu, 25 Januari 2014

PENDIDIKAN BAHASA ARAB DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

PENDAHULUAN

Allah SWT menciptakan manusia sebagai puncak kesempurnaan makhluk (ahsanu taqwim), dengan segala kelengkapan jasmani, rohani dan kemampuan berfikirnya yang membuatnya berbeda dengan makhluk Allah lainnya, kapasitas berfikir yang dimilikinya mendorong manusia menuju ke kondisi yang lebih baik. (Anshari, 2002:15). Manusia diciptakan Tuhan dengan ciri khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, yaitu daya berfikir. (Setiawan , 2004:35) Sehingga dengan demikian manusia memiliki tiga keistimewaan dibanding makhluk lain, yaitu: penguasaan bahasa, kemampuan berpikir, dan kesempurnaan bentuk ragawi (Rahardjo, 2006: 4). Sebagaimana firman Allah SWT :
šوَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ
Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang berilmu”. (Al-Ankabut: 43)
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab "علم" yang berarti  pengetahuan atau al-ma’rifah,  yang selanjutnya berkembang menjadi pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang difahami secara mendalam (Ma’luf, 1986:527). Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan hasil keaktifan akal, ada yang diperoleh dari penginderaan terhadap objek-objek indrawi, ada yang diperoleh dari objek khayali dan ada yang diperoleh dari objek yang akali. Semuanya itu merupakan ma’qulat yang menghasilkan pengetahuan. Ali (1991:82).
Pengetahuan diartikan secara luas, mencakup segala hal yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu. Manusia mendapatkan pengetahuan tersebut berdasarkan kemampuannya selaku makhluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Disamping itu manusia bisa juga mendapatkan pengetahuannya lewat intuisi dan wahyu dari Tuhan yang disampaikan lewat utusan-Nya. Jadi ilmu pengetahuan adalah formulasi pengetahuan manusia tentang alam semesta yang disajikan lewat rumusan yang sistematik dan rasional. (Saefudin, 1998:201)
Kridalaksana (2008:24) Bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa adalah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain (Walija,1996: 4). Sebagai alat komunikasi manusia bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sekaligus sistemis. Yang dimaksud dengan sistemis adalah bahwa bahasa itu bukan suatu sistem tunggal, melainkan terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. (Chaer, 2007:4).
Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf. Bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Wibowo, 2001:3).
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philein (cinta) dan sophos (hikmat). Orang Arab memindahkan kata Yunani ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikannya dengan tabiat susunan kata-kata Arab, yaitu falsafah dengan pola fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja falsafah seharusnyalah falsafah dan filsaf. (Nasution, 1989: 3; Syaibani,1979:25; dan Hanafi,1996:13)
Mohammad Hatta (1980) memandang pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu, sebab nanti, apabila orang telah banyak membaca atau mempelajari filsafat, orang akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu, menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada (Gazalba,1978:316).
Penulis berpendapat “tiada kehidupan tanpa adanya bahasa, dan tiada sebuah cinta tanpa adanya filsafat”. Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan peralihan, dari gelap ke terang, dari hulu ke muara,begitu seterusnya. Sesorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga sebaliknya seseorang itu akan mampu berbahasa sesuai dengan hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan.  Filsafat dan bahasa ibaratkan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu dan tidak terpisahkan. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antarmanusia, tetapi juga mampu mengubah seluruh kehidupan manusia, karena merupakan aspek terpenting dari kehidupan manusia.
Sekelompok manusia atau bangsa yang hidup dalam kurun waktu tertentu tidak akan bisa bertahan tanpa adanya bahasa dalam bangsa tersebut. Bahasa dalah sine qua non, suatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat manusia.Sehingga setiap orang akan senantiasa melakukan relasi yang erat dengan bahasa.
Bahkan seorang filosofi senantiasa bergantung kepada bahasa, ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan filosofis seseorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa, karena alat paling utama dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof tidak mungkin bisa mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buah pikiran kefilsafatannya.
Disini penulis memandang bahwa bahasa dan filsafat akan senantiasa beriringan yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya.Penulis mengibaratkan seperti lebah dengan madunya. Keduanya memiliki cinta yang sejati, sebuah cinta yang tidak mengetengahkan dimiliki dan memiliki. Hal ini karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem simbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawab dan makna dari seluruh simbol yang menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol tersebut.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hukum kausalitas yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat), baik secara langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan akhir-akhir ini “bahasa” telah dijadikan sebagai objek yang sangat menarik bagi perenungan, pembahasan dan penelitian dunia filsafat.
Hal ini selain bahasa memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks. Salah satu kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.

 Hakikat Pembelajaran Bahasa Arab
Bahasa adalah kumpulan kebiasaaan (set of habbits). Argumen dasar dari pendekatn ini adalah peristiwa pemerolehan bahasa pada seorang anak (iktisab al lughah). Seseorang dapat berbicara dengan menggunakan bahasa ibu adalah karena ia telah terbiasa dengan bahasa tersebut semenjak kecil. Ia telah terbiasa mendegar orang sekitar bercakap dengan menggunakan bunyi-bunyi bahasa ibu, lalu berusaha menirunya. Pada awalnya peniruan tersebut terasa berat juga tidak tepat, seiring pengulangan-pengulangan, kebiasaan tertanam, hingga pada akhirnya dapat mengucapkan bunyi bahasa ibu persis seperti orang dewasa di sekitarnya.
Oleh karena itu, ketika seorang native speaker berbicara, maka ia hanya akan memikirkan tentang apa yang mesti dibicarakan. Akan tetapi, bagi seseorang yang baru saja belajar bahasa Arab, ia harus berpikir tentang bagaimana cara berbicara, bagaimana mengucapkan fonem secara benar, bagaimana merangkai kata dan pertanyaan-pertanyaan teknis lainnya. Hal tersebut terjadi karena ia belum terbiasa terhadap bahasa yang baru dipelajarinya. Dalam hal ini mesti digaris bawahi bahwa, kebiasaan itu bersifat spontan, oleh karena itu, para native speaker dapat langsung berbicara tanpa perlu lagi memikirkan teknik berbicara.
Berdasarkan hal diatas, pengajaran bahasa Arab adalah penanaman kebiasaan baru. sedangkan belajar bahasa Arab adalah belajar kebiasaan baru. Seorang guru harus membantu murid untuk mengenali misalnya mufradat-mufradat yang sama sekali baru dan berbeda dari bahasa yang biasa ia pakai, lalu mencoba untuk mempraktekkannya. Praktek-praktek tersebut harus dijalankan secara intensif hingga murid dapat terbiasa hingga mencapai tingkatan yang kurang lebih sama dengan native speaker. Memperbanyak latihan sangatlah penting, mengingat latihan-latihan dapat menciptakan kebiasaan.
Seperti halnya peristiwa pemerolehan bahasa, pengajaran bahasa Arab tahap awal hendaknya berfokus pada kemahiran maharah al istima’ wal al kalam. Sedangkan penanaman maharah kitabah dan maharah al qira’ah hendaknya diberlakukan kemudian.
Hakikat pendidikan bahasa Arab bisa kita tinjau dari segi fungsinya yaitu sebagai alat komunikasi manusia untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari -hari, baik antara individu dengan individu, individu dengan masyrakat maupun masyarakat dengan bangsa tertentu. Yakni dengan mengkomunikasi dan menyampaikan maksud tertentu dan mencuruahkan suatu peranan tertentu dengan rasa senang, sedih, duka, dan gembira kepada orang lain, agar dapat dipahami, dimengerti dan merasakan segala yang dia alami. (Yusuf , 1995:187)
Maka dapat disimpulkan disini, karena bahasa merupakan karunia Allah SWT untuk manusia, maka upaya untuk mengetahuinya merupakan suatu kewajiban dan sekaligus amal saleh. Jika seorang mampu mengetahui berbagai bahasa, khususnya bahasa Arab yang juga merupakan bahasa Alqur’an, maka sudah pasti termasuk orang yang mempunyai banyak pengetahuan. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S Yusuf ayat 2:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab.
Orang yang mempunyai banyak pengetahuan, maka dia termasuk orang yang beriman, dan Allah swt akan mengangkat derajat orang-orang tersebut. Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, (Q.S Al-Mujadalah:11). Dengan demikian mempelajari bahasa adalah salah satu bentuk ibadah yang harus kita lakukan.
Metode Pembelajaran Bahasa Arab
Bahasa Arab merupakan bahasa Al-Qur’an, bahasa komunikasi dan informasi umat Islam. Karena merupakan bahasa peribadatan dalam agama Islam (bahasa Al-Qur'an), inilah yang menjaga bahasa Arab menjadi bahasa utama hingga lebih dari 1400 tahun peradaban Islam. Karenanya merupakan bahasa keagamaan bagi umat seluruh umat islam di dunia yang diperkirakan  jumlahnya  lebih dari satu milyar jiwa atau 20% dari penghuni bumi ini yang menyebar di 60 negara di dunia (Azhar, 2008:3)
Effendy (2009) berpedapat bahasa Arab telah memberi banyak kosakata kepada bahasa lain dari dunia Islam, sama seperti peranan Latin kepada kebanyakan bahasa Eropa. Semasa Abad Pertengahan bahasa Arab juga merupakan alat utama budaya, terutamanya dalam sains, matematik adan filsafah, yang menyebabkan banyak bahasa Eropa turut meminjam banyak kosakata dari bahasa Arab. Sehingga kosakata dalam bahasa arab mufradat merupakan salah satu unsur bahasa yang harus dikuasai oleh pembelajar bahasa asing untuk dapat memperoleh kemahiran berkomunikasi dengan bahasa tersebut.
Menurut Bisri Mustofa (2008), macam-macam metode pembelajaran bahasa Arab adalah sebagai berikut:
a.       Metode Nahwu wa Tarjamah (Grammar and Translation Method)
Metode ini merupakan metode pembelajaran bahasa asing yang lebih dulu berkembang. Dalam penerapannya metode ini banyak menekankan pada penggunaan tata bahsa (nahwu) dan praktik penerjemahan ke bahasa sasarannya. Metode ini sangat populer digunakan dalam pembelajaran bahasa asing baik di sekolah, pesantren maupun perguruan tinggi.
Adapun ciri-ciri dari metode ini yaitu:
1)      Pertama-pertama siswa mempelajari kaidah-kaidah tata bahasa (nahwu) dan daftar kosakata dwibahasa yang berkaitan erat dengan pelajaran yang bersangkutan.
2)      Setelah kaidah-kaidah dan kosa-kata dipelajari, maka petunjuk-petunjuk bagi penerjemahan latihan-latihan yang mengikuti penjelasan-penjelasan ketatabahasaan pun diberikan.
3)      Pemahaman terhadap kaidah-kaidah dan bahan bacaan pun diuji melalui terjemahan.
4)      Bahasa asli (bahasa ibu) dan bahasa sasaran dibandingkan secara konstan.
5)      Sedikitnya kesempatan untuk praktik/latihan menyimak dan berbicara selama penggunaan metode ini.
b.      Metode Langsung (Thariqah Mubasyarah/Direct Method)
Metode ini lahir sebagai reaksi terhadap pengggunaan metode nahwu wa tarjamah yang mengajarkan bahasa seperti bahasa yang mati. Sebelumnya sejak tahun 1850 telah banyak muncul propaganda yang menyampaikan agar menjadikan pengajaran bahasa asing itu hidup, menyenangkan dan efektif. Propaganda ini menuntut adanya perubahan yang mendasar dalam metode metode pengajaran bahasa asing. Sehingga secara cepat lahirlah metode pembelajaran baru yang disebut dengan metode langsung ini. Ciri-ciri metode langsung, yaitu:
1)      Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir dengan bahasa Arab bukan dengan bahasa ibu siswa
2)      Hendaknya menggunakan bahasa Arab tidak menggunakan lain sebagai media
3)      Percakapan antar siswa menggunakan kosakata dan susunan kalimat sesuai dengan maksud dan tujuan belajar
4)      Di awal pembelajaran siswa dikondisikan untuk mendegarkan kalimat-kalimat sempurna dan mempunyai makna yang jelas, sehingga siswa mampu dan mudah memahaminya.
5)      Nahwu adalah sebagai alat untuk mengatur ungkapan bahasa
6)      Teks bahasa Arab tidak disajikan kepada siswa sebelum mereka mengenal suara, kosakata serta susunan yang ada di dalamnya.
7)      Penerjemahan dari dan ke bahasa Arab adalah sesuatu yang harus  dihindari dalam metode ini.   
8)      Guru lebih banyak menggunakan waktunya untuk tanya-jawab dengan siswanya
9)      Sebagian besar waktu pembelajaran digunakan untuk latihan bahasa, seperti imla’.
10)  Metode ini lebih banyak pada pengembangan kemampuan berbicara siswa dibandingkan dengan kemampuan lain.
c.       Thariqah Sam’iyah Syafawiyah (Audio-Lingual Method)
Metode ini sebagai respon bagi dua hal penting pada tahun 50-an dan 60-an, yaitu (1) studi bahasa yang dilakukan oleh ahli jiwa dan ahli bahasa terhadap bahasa-bahasa lisan Hindia di wilayah Amerika Serikat, (2) perkembangan sarana komunikasi antar bangsa yang bisa mendekatkan jarak antara mereka dan adanya kebutuhan mempelajari bahasa asing tidak hanya digunakan untuk mencari tetapi untuk komunikasi langsung antar mereka.
Kedua hal ini mendorong untuk melihat kembali fungsi bahasa yang tidak hanya untuk komunikasi bahasa tetapi bahasa sebagai alat untuk merealisasikan komunikasi lisan. Secara berurutan orang belajar menyimak dan berbicara, kemudian dilanjutkan belajar komunikasi tertulis (membaca dan menulis). Pandangan inilah yang kemudian melahirkan metode sam’iyah syafawiyah (audio-lingual method). Adapun ciri-ciri penggunaan metode sam’iyah syafawiyah adalah sebagai berikut:
1)      Metode ini berangkat dari gambaran bahwa bahasa adalah seperangkat simbol-simbol suara yang dikenal oleh anggota masyarakat untuk mengadakan komunikasi di antara mereka
2)      Dalam metode ini Guru mengajarkan keterampilan dimulai dari istima’, kalam, qiraah, dan kitabah.
3)      Metode ini didasarkan pada pandangan ahli Antropologi kebudayaan bahwasanya budaya bukanlah sekedar bentuk seni atau sastra akan tetapi budaya merupakan gaya hidup yang melingkupi kehidupan suatu kelompok yang berbicara dengan bahasa mereka. 
d.   Thariqah Qiraah (Reading Method)
Metode ini lahir dari pemikiran para ahli pengajaran bahasa asing pada awal abad 20. Teori ini dipelopori oleh beberapa pendidik Inggris dan Amerika Serikat. West (1926) yang mengajar bahasa Inggris di India, berpendapat bahwa belajar membaca secara lancar jauh lebih penting bagi orang-orang India yang belajar bahasa Inggris ketimbang berbicara.
West menganjurkan suatu penekanan pada membaca buku hanya karena dia menganggap hal itu sebagai keterampilan yang paling bermanfaat yang harus diperoleh dalam bahasa asing, tetapi karena hal itulah yang paling mudah, suatu keterampilan dengan nilai tambah yang paling besar pada siswa pada tahap-tahap awal pembelajaran bahasa.
Ciri-ciri pembelajaran Bahasa Arab dengan metode ini, yaitu:
1)      Biasanya metode ini memulai dengan memberi latihan sebentar kepada siswa tentang keterampilan bertutur.
2)      Setelah siswa berlatih membaca mengucapkan beberapa kalimat kemudian mereka membacanya dalam teks.
3)      Kemudian siswa membaca teks dengan Qiraat jahriyah (membaca dengan keras), diikuti dengan beberapa pertanyaan seputar teks untuk menguatkan pemahaman.
4)      Membaca terbagi kpada dua macam, yaitu: membaca intensif dan membaca lepas.
e.    Thariqah Ma’rifiyah (Cognitive Code-Learning Theory)
Metode ini mempunyai beberapa istilah, diantaranya: cognitive code, cognitive theory (cognitive approaches). Metode ini diinterprestasikan oleh beberapa pakar sebagai teori terjemahan tata bahasa yang mutakhir dan telah dimodifikasi oleh Carrol (1966) dan oleh pakar lainnya di interprestasikan sebagai pendekatan ML yang mutakhir dan diperbaharui oleh Hester (1970) dan Diller (1978). Ciri-ciri khusus penggunaan metode ini dalam pembelajaran bahasa Arab, yaitu sebagai berikut:
1)      Teori ini berusaha untuk mengenalkan siswa tentang sistem bunyi tata bahasa, morfologi, dan dalalah Arabiyah sebagai bahasa kedua.
2)      Pelajaran dimulai dengan menjelaskan kaidah dan diikuti dengan membuat contoh-contoh.
3)      Latihan-latihan bisa dengan berbagai kegiatan kebahasaan dalam kerangka pengembangan kompetensi komunikasi.
4)      Menggunakan bahasa pembantu pada awal pembelajaran.
5)      Guru melatih siswa untuk membuat kesimpulan, kaidah-kaidah analisis, penerapan, dsb.
6)      Pembelajaran diawali dengan pemahaman yang mendalam dan diakhiri dengan latihan serta belajar tarkib.
7)      Langkah-langkah pembelajaran terbatas, dimulai dengan menyajikan materi baru dan latihan-latihan. 
Selain metode di atas, penulis berpendapat metode yang tepat untuk pembelajaran bahasa Arab adalah dengan menggunakan cooperative learning. Lie (2005:12) cooperative learning merupakan sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur. Sistem pembelajaran ini lebih dikenal dengan  sistem pembelajaran gotong royong’’, dalam sistem pembelajaran ini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator.  Holubec (dalam Nurhadi, Yasin, dan Senduk, 2004:60) pembelajaran  cooperative learning merupkan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dan mencapai tujuan belajar.
Dengan mengunakan metode tersebut  dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemahiran siswa dalam mempelajari bahasa Arab. Karena dalam metode banyak terdapat keunggulan dari metode-metode pembelajaran yang ada sebelumnya. Pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru karena guru disini hanya berfungsi sebagai fasilitator. Sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pendidikan yang bermakna dan bermatabat, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional yang membentuk manusia yang beriman, berakhlak dan berbudi luhur.

Manfaat Pembelajaran Bahasa Arab bagi Pengembangan Ilmu
            Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. (Beerling, 1988:1-4). Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia juga mengenai logika dan metodologi.
            Zainuddin (2006), untuk menetapkan dasar pemahaman tentang filsafat ilmu tesebut, sangat bermanfaat meyimak empat titik pandangan dalam filsafat ilmu, yaitu:
  • Bahwa filsafat ilmu adalah perumusan word-view yang konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting.
  • Bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presupposition dan pre-disupposition dari para ilmuan.
  • Bahwa filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu yang didalamnya terdapat konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu yang dianalisis dan diklasifikasikan.
  • Bahwa filsafat ilmu merupakan suatu patokan pada tingkat kedua
Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pegetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat. Ilmu yang objek sasarannya adaalh ilmu, atau secara populer  disebut dengan ilmu tentang ilmu. (Koentowibisono,1988:27)
Fungsi filsafat terhadap bahasa, yaitu:
  • Filsafat dalam arti analisis filsafat merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para filosof dan ahli filsafat dalam memecahkan, seperti mengenai apakah hakikat bahasa itu, atau pernyataan dan ungkapan bahasa yang bagaimana yang dapat dikategorikan ungkapan bahasa bermakna dan tidak bermakna.
  • Filsafat dalam arti pandangan atau aliran tertentu terhadap suatu realitas, misalnya filsafat idealism, rasionalisme, realism, filsafat analitif, Neo-Posotovisme, strukturalisme, posmodernisme, dan sebagainya, akan mewarnai pula pandangan para ahli bahasa dalam mengembangkan teori-teorinya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi dan memberikan bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori kebahasaan yang telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa atas dasar aliran filsafat tersebut.
  • Filsafat juga berfungsi memberi arah agar teori kebahasaan yang telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, memiliki relevansi dan realitas kehidupan ummat manusia.
  • Filsafat termasuk juga filsafat bahasa, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori kebahasan menjadi ilmu bahasa (linguistic) atau ilmu sastra. Suatu teori kebahasaan yang dikembangkan oleh suatu aliran filsafat tertentu, akan menghasilkan forma aliran ilmu bahasa tertentu pula. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kebahasaan secara berkelanjutan.


Bahasa Arab dari segi kebahasaan tidak dapat dipisahkan dari ‘ilmu al-lughah seperti psikolinguistik, sosiolinguistik, linguistik terapan, dan linguistik teoritik. Dari segi proses pembelajarannya, bahasa Arab juga menggunakan ilmu pendidikan lainnya seperti  psikologi pendidikan (‘ilm al-nafsi at-tarbawi), teori-teori pengembangan kurikulum, dan teori-teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Selain itu, bahasa Arab juga tidak dapat dipisahkan dari pemanfaatan media dan teknologi pendidikan, karena perkembangan pendidian bahasa Arab banyak dipengaruhi dengan berbagai nuansa disiplin ilmu tersebut.

a.       Epsitemologi
Epsitemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).
            Bahasa Arab terdiri dari kata-kata atau kumpulan kata (mufradat). Masing-masing mempunyai makna, yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili kumpulan kata atau kosa kata itu oleh ahli bahasa disusun secara alfabetis, atau menurut urutan abjad, disertai dengan penjelasan artinya dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon.
Pada waktu kita berbicara atau menulis, kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak tersusun begitu saja, melainkan mengikuti aturan yang ada. Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran atau perasaan, kita harus memilihkata-kata yang tepat dan menyusun kata-kata itu sesuai dengan aturan bahasa Arab. Seperangkat aturan yang mendasari pemakaian bahasa Arab, atau yang kita gunakan sebagai pedoman berbahasa inilah yang disebut tata bahasa Arab.
Selain itu, epistemologi keilmuan bahasa Arab secara metodologis memang relatif sudah mapan, namun jika disinergikan dengan ilmu-ilmu kontemporer seperti pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi, dsb, maka peluang untuk pengembangan studi masih sangat terbuka lebar. Bahasa Arab  tidak hanya sebagai suatu keilmuan atau kemahiran saja, melainkan juga sebagai ranah kependidikan atau yang lebih tertuju kepada proses transformasi aspek kognisi, afeksi, psikomotorik dan spiritualisasi, sehingga dalam hal ini bisa dikatakan bahwa epitemologi bahasa Arab memiliki pijakan yang kuat baik dari segi pendekatan, teori, metode, strategi, dan model pembelajaran.
b.      Ontologi (objek atau sasaran)
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pemikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologis. (Zainuddin, 2006) Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya. Objek material filsafat bahasa adalah kefilsafatan atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Sedangkan objek formal filsafat bahasa adalah pandangan filsafati atau tinjauan secara filsafati.
Bahasa Arab ditinjau secara ontologi merupakan sebuah disiplin ilmu perpaduan dari berbagai disiplin ilmu yang ada. Dilihat dari segi substansinnya, bahasa Arab terdapat ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghah, fonologi (‘ilm al-ashwat), semantik (ilmu dalalah) dan sebagainya.
 c.       Semantikal / Aksiologi (nilai dan fungsi)
Meliputi nilai kegunaan yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Salah satu aspek penting dari bahasa ialah aspek fungsi bahasa. Gunawan W.A. (1989:2) menjelaskan fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Sebab, dengan bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa mampu memberikan kemungkinan yang lebih luas dan kompleks dari pada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media yang lain. Bahasa Arab jika dipandang dari sisi aksiologi adalah selain berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa Arab juga diharapkan mampu berperan aktif mencetak tenaga pendidik bahasa Arab yang profesional sehingga mampu berperan positif dalam lembaga pendidikan dan masyarakat maupun negara.

KESIMPULAN
Allah SWT menciptakan manusia sebagai puncak kesempurnaan makhluk (ahsanu taqwim), dengan segala kelengkapan jasmani, rohani dan kemampuan berfikirnya yang membuatnya berbeda dengan makhluk Allah lainnya, sehingga dengan demikian manusia memiliki tiga keistimewaan dibanding makhluk lain, yaitu: penguasaan bahasa, kemampuan berpikir, dan kesempurnaan bentuk ragawi.
 Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan.  Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia juga mengenai logika dan metodologi.  Bahasa Arab merupakan bahasa Al-Qur’an, bahasa komunikasi dan informasi umat Islam. Karena merupakan bahasa peribadatan dalam agama Islam (bahasa Al-Qur'an), inilah yang menjaga bahasa Arab menjadi bahasa utama hingga lebih dari 1400 tahun peradaban Islam.
Epistemologi keilmuan bahasa Arab secara metodologis tidak hanya sebagai suatu keilmuan atau kemahiran saja, melainkan juga sebagai ranah kependidikan atau yang lebih tertuju kepada proses transformasi aspek kognisi, afeksi, psikomotorik dan spiritualisasi.
Bahasa Arab ditinjau secara ontologi merupakan sebuah disiplin ilmu perpaduan dari berbagai disiplin ilmu yang ada. Dilihat dari segi substansinnya, bahasa Arab terdapat ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghah, fonologi (‘ilm al-ashwat), semantik (ilmu dalalah) dan sebagainya
Sedangkan dipandang dari sisi aksiologi adalah selain berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa Arab juga diharapkan mampu berperan aktif mencetak tenaga pendidik bahasa Arab yang profesional sehingga mampu berperan positif dalam lembaga pendidikan dan masyarakat maupun negara.


 
DAFTAR RUJUKAN

Adidarmodjo, Gunawan Wibisono. 1989. Renda-Renda Bahasa. Bandung : Angkasa
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Al-Syaibani, Omar Muhammad al-Thoumi. 1979. Filsafat Pendidikan Islam Terj. Jakarta: Bulan Bintang.
Anshari, Endang Saifuddin. 2002. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset.
Arsyad, Azhar. 2002. Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya. Makasar: Pustaka Belajar.
Beerling. 1988. Filsafat Dewasa Ini. Hasan Amin. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauaan Antropologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset
Effendy, Ahmad Fuad. 2009. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat
Gazalba, Sidi. 1978. Asas Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa: mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Koentowibisono. 1988. Beberapa Hal Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah Sketsa Umum Sebagai Pengantar untuk Memahami Hakikat Ilmu dan Kemungkinan Pembangunannya. Jogjakarta: IKIP.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Lie, Anita. 2005. Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Ma’luf , Louis. 1986. Al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A’lam.  Beirut : Dar al-Masyriq.
Nasution. Harun 1989. Falsafat Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Nurhadi, Yasin, Burhan, dan Senduk, Agus Gerrad. 2004.  Pembelajaran Kontekstual dan Pembelajarannya dalam KBK. Malang: UM Press
Pangabean, Maruli. 1981. Bahasa Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: Gramedia.
Rahardjo, Mudjia. 2006. Bahasa, Pemikiran Dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik). Disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosiolinguistik Fakultas Humbud UIN Maliki Malang.
Saefudin,  A.M. 1998. Desekularisasi  Pemikiran : Landasan Islamisasi. Bandung : Mizan.
Santoso, Kusno Budi.1990. Problematika Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa
Setiawan, Conny R. dkk. 2004. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Syamsuddin, A.R. 1986. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka Jakarta
Walija. 1996. Bahasa Indonesia dalam Perbincangan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Wibowo, Wahyu. 2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia
Yusuf , Tayar dan Syaiful Anwar. 1995. Metode  Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab.. Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada.
Zainuddin. 2006. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jogjakara: Naila Pustaka

1 komentar: